BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sekolah sering dijadikan tumpuan
utama masyarakat dalam menilai berhasil tidaknya
pendidikan. Keberhasilan atau prestasi belajar siswa hanya sering dilihat sebagai
kesuksesan dan keunggulan pihak sekolah semata. Sebaliknya, kegagalan atau rendahnya
kualitas siswa sering dilihat sebagai ketidakmampuan pihak Sekolah dalam menyelenggarakan
proses pendidikan.
Dalam proses pendidikan keberadaan siswa
bukan sebagai objek atau barang yang dapat diperlakukan
seperti mesin. Siswa adalah subjek pendidikan, yang di dalam dirinya
terdapat bakat, minat, kemampuan dan motivasi yang berbeda-beda itulah sebabnya siswa sering kali disebut
sebagai makhluk yang unik. Karena semuanya
itu menunjukkan karakteristik keunikan
siswa yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Asumsi dasar tersebut membawa
konsekuensi logis, bahwa keberadaan siswa yang unik harus dipertimbangkan dan
menjadi dasar dalam menyelenggarakan proses pendidikan. Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan
membahas tentang mengenal perkembangan siswa sebagai subjek belajar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan maksud
dari siswa sebagai makhluk yang unik ?
2.
Sebutkan dan
jelaskan bentuk
perkembangan siswa ?
3.
Bagaimana penerapan setiap aspek perkembangan dalam
proses pembelajaran ?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah : pertama, guru dapat
memahami peran siswa di sekolah bukanlah sebagai objek namun sebagai subjek, di
mana siswa ini juga dituntut berperan aktif dalam proses pembelajaran. Kedua,
untuk mengetahui bentuk perkembangan dari siswa tersebut. Ketiga,
diharapkan agar seorang guru dapat menerapkan setiap aspek perkembangan dalam proses pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SISWA
SEBAGAI MAKHLUK YANG UNIK
1. Ciri-Ciri
Keunikan Siswa
Tujuan lembaga pendidikan khusunya sekolah adalah mempersiapkan anak didik
agar mereka dapat hidup dimasyarakat.[1]
Tugas pendidikan disekolah adalah membimbing dan membina serta mengembangkan
potensi anak didik yang dibawa sejak lahir agar mereka dapat hidup dimasyarakat
yang penuh tantangan. Hal tersebut dapat diwujudkan oleh seorang guru yang
dapat memahami anak didik sebagai makhluk yang unik.
Manusia berbeda dengan makhluk lain, Perbedaan tersebut karena kondisi
psikologisnya. Manusia hidup bukan hanya sekedar hidup seperti yang terjadi
pada binatang atau tumbuhan. Manusia adalah individu yang memiliki kondisi
psikologis yang sangat kompleks. Kondisi psikologis inilah yang kemudian
menempatkan manusia sebagai subjek yang berperan aktif di muka bumi, bukan
hanya sekedar ada dan hadir, akan tetapi keberadan dan kehadiran manusia adalah
keberadaan yang bermakna dan memiliki arti penting dalam menentukan dan
meramaikan kehidupan di jagat raya ini.
Baik secara fisiologis ataupun psikologis manusia adalah makhluk yang
dinamis, makhluk yang selamanya mengalami perkembangan dan perubahan. Ia
berkembang khususnya secara fisik dari mulai ketidak mampuan dan kelemahan yang
dalam segala aspek kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain, secara
perlahan-lahan berkembang menjadi manusia yang mandiri yang mampu melepaskan
bantuan orang lain dan pada akhirnya kembali pada posisi semula, yaitu manusia
yang lemah.
Setiap perkembangan manusia memliki karakteristik yang
berbeda. Manusia ketika baru dilahirkan kedunia manusia adalah makhluk yang
lemah dan tak berdaya, ketidak
berdayaan manusia sejak lahir mungkin kalah bila dibandingkan dengan binatang.
Binatang yang baru lahir sudah mampu berjalan dan sebagainnya, sedangkan
manusia yang baru lahir tidak mampu hidup tanpa bantuan orang dewasa, namun
dibalik kelemahan dan ketidak keberdayaan manusia tersebut memiliki potensi
yang sangat besar yang bila dibandngkan dengan makhluk lain.
2. Peran Pendidikan
Dalam Perkembangan Siswa
Dilihat dari perubahan yang terjadi setiap individu, ada dua perubahan yang
terjadi, yakni perubahan pada aspek jasamani atau fisik dan perubahan
psikopsikis (rohani). Perbahan fisik adalah perubahan yang berkaitan dengan
pertumbuhan terhadap organ-organ tubuh manusia, perubahan ini dibatasi oleh
waktu, dengan kata lain bahwa pertumbuhan tersebut akan berhenti apabila telah
sampai pada kemantangan fisik.[3]
Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan kuantitatif pada material
sesuatu sebagai akibat dari adanya pengaruh lingkungan. Perubahan kuanttatif
ini dapat berupa pembesaran atau pertambahn dari tidak ada mejadi ada, dari
kecil menjadi besar, dari sedikit menadi banyak, dari sempit menjadi luas.[4]
Pertumbuhan berhubungan degan perubahan yang terjadi pada aspek jasmani
manusia (fisik).
Perkembangan merupakan perubahan fungsi-fungsi (psikopsikis) setiap manusia
kearah yang lebih baik dan sempurna. Apaila
dilihat dari aspek pertumbuhan dan perkembangannya, ini memiliki konsekuensi
kepada perlakuan pendidikan. Pada masa bayi pendidikan yang diberikan oleh
orang dewasa lebih banyak memberikan bantuan untuk pertunuhan fisik, misalnya
bagaimana agar anak dapat mefungsikan kakinya untuk bejalan ; bagaimana anak
agar dapat memfungsikan tangannya untuk memegang; bagaimana anak dapat
memfungsikan matanya untuk melihat dan lain sebagainya. Hal ini terus dilakukan
sampai anak memiliki kemampuan mengendalikan dan memfungsikan organ tubuhnya.
Menginjak pada masa usia TK proses pendidikan bukan
hanya sekedar melatih organ tubuhnya agar befungsi lebih sempurna , akan tetapi
juga mengembangkan kemampuan psikologis yang mulai berkembang, misalnya
mengembngkan daya cipta, mengembangkan keberanian, dan lain sebagainya melalui
permainan-permainan yang menantang serta melaui cerita-cerita khayalan
untuk mengembangkan kemampuan imajinasi anak.
Pada masa anak usia SD, dunia khayal anak berubah
menuju dunia nyata yang konkret. Semua yang pernah dikhayalkan ia ingin
konkretkan, yang berari peran pendidikan bergeser dari memberi bantuan secara
fisiologis menjadi pemberian bantuan terhadap mental-psikologis anak. Pada masa
ini, peran guru sebagai orang dewasa yang bertugas mengembangkan kemampuan
intelektual anak semakin besar. Habis masa
berpikir konkret anak berkembang pada kemampuan berpikir abstrak. Segala yang
diajarkan tidak lagi perlu dengan menggunakan alat yang hanya berfungsi umtuk
mengkonkretkan yang diajarkan.
Mengembangkan kemampuan berpikir melalui pemanfaatan
potensi otak, merupakan peran pendidikan pada masa berpikir abstrak. Pada
tahapan ini, anak didorong untuk mampu memecahkan masalah secara kritis dan
logis serta anak didorong untuk secara aktif berkreasi menemukan gagasan baru
melalui proses berpikir kreatif.
Dengan demikian, gurupun harus siap dengan
mengembangkan perannya sebagai mitra dialog serta fasilitator yang berperan
untuk mempermudah siswa belajar, idealnya pada usia perkembangan ini, anak
sudah bisa belajar mandiri; anak sudah memilki tanggung jawab untuk keberhasilannya,
sehingga tugas dan peran guru bukan haya sebagai sumber belajar akan tetapi
juga sebagai fasilitator dalam belajar.
B.
BENTUK
PERKEMBANGAN SISWA
Untuk kepentingan pembelajaran, ada
tiga bentuk perkembangan pada setiap manusia yakni:
1. Perkembangan
Motorik
Perkembangan motorik adalah perkembangan yang berkaitan dengan perubahan
otot dan gerakan-gerakan fisik. Terjadi perubahan fisik yang luar biasa pada
anak menjelang usia remaja, yakni antara dua-tiga belas tahun hingga pada usia
dua puluh satu-dua puluh dua tahun. Pada saat ini, perkembangan fisik anak akan
semakin matang.
Perkembangan motorik anak berkembang dari mulai gerakan –gerakan yang
muncul secara ilmiah, kemudian gerakan menirukan sesuatu dan gerakan
koordinasi antara gerakan fisik dan mental.
Ada tiga faktor penting yang dapat mempengaruhi
kemampuan motorik anak atau perkembangan motor skills anak yang dapat
diupayakan oleh orang lain diluar dirinya, misalnya orang tua dan guru,
yaitu 1) pertumbuhan dan perkembanga sistem saraf. 2) pertumbuhan otot-otot,dan
3) perubahan struktur jasmani. Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan
motorik anak adalah perubahan struktur fisik anak, maka akan semakin
sempurna fisik anak, misalnya tinggi badan, bobot serta proporsi atau
perbandingan struktur tubuh
2. Perkembangan
kognitif
Perkembangan kognitif adalah perkembangan yang berkenaan dengan
perilaku mental seseorang yang meliputi pemahaman, pertimbangan, pengolahan
informasi, dan pemecahan masalah.
Perubahan kognitif yaitu perkembangan yang terjadi pada intelegensi
seseorang, dengan adanya perkembangan intelegensi seseorang dapat memiliki
pemahaman yang semakin mendalam dan pengetahuan yang luas.
Pendidik sebagai orang yang membimbing anak didik dalam kegiatan belajar
harus memperhatikan perkembngan kognitif (intelegensi) anak, agar pembelajaran
yang diberikan sesuai dengan tingkatan intelegensi anak. Perkembangan
intelegensi anak sangat dipengaruhi oleh tingkatan umur. Tiap tingkatan umur
akan memiliki tingkatan itelegensi yang berbeda.
Untuk memahami perkembngan kognitif siswa, salah satu teori yang banyak
digunakn adalah seperti yang dikemukakan oleh Piaget (1896-1980) adalah
kemampuan kognitif merupakan suatua yang fundamental yang mengarahkan dan
memimbimg perilaku anak. Ada dua konsep yang perlu diketahui untuk memahami
teori perkembngan kognitif dari piaget, yaitu konsep tentang fungsi
dan konsep tentang struktur. Fungsi
merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama untuk setiap orang. Tujuannya
adalah untuk menyusun struktur kognitif internal. Sedangkan, struktur
merupakan seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel yang
digunakan untuk memahami lingkungan.
Menurut Piaget, perkembngan kognitif setiap individu berlansung dalam
bebrapa tahapan-tahapan tertentu. Tahapan-tahapan tersebut terdiri dari atas 4
fase, yaitu:
a.
Sensori
motor berkembang dari 0-2 tahun
Piaget percaya, selama dua tahun pertama kehidupan kita,
fokus utama kita tertuju pada sensasi fisik dan belajar mengkoordinasikan tubuh
kita. Kita belajar bahwa tindakan tertentu mempunyai pengaruh khusus. Itulah
sebabnya bayi merasa terpesona ketika menyadari bahwa dirinya bisa menggerakkan
anggota-anggota badannya, lalu berlanjut dengan benda-benda lain.
Selama
tahun kedua kehidupannya, bayi sengaja bereksperimen dengan berbagai tindakan
untuk mengetahui pengaruhnya. Anak pada periode ini belajar cara mengikuti
dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa
memahami hal yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan
perbuatan diatas.[5]
Selanjutnya,
bayi dibawah umur 18 bulan belum memiliki pengenalan object permanence. Artinya,
benda apapun yang ia tidak lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar selalu
dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada di tempat lain. Namun,
dalam rentang usia antara 18 - 24 bulan barulah kemampuan mengenali object
permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis sehingga,
benda-benda mainan dan orang-orang yang biasa berada disekitarnya (seperti ibu
dan pengasuhnya) akan ia cari dengan sungguh-sungguh bila ia memerlukannya.
b.
Pra-operasional,
mulai dari 2-7 tahun
Tahap Perkembangan ini menurut Piaget ditandai dengan
beberapa ciri. pertama, bermula pada adanya kesadaran dalam diri anak tentang
suatu objek. Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai
berkembang. Hal ini tentunya membuat pemikiran anak lebih didasarkan pada
pemikiran lambang yang menggunakan bahasa daripada sensasi fisik, tetapi anak
belum banyak mengerti tentang aturan logika (karena itulah diebut pra-operasional
).[6]
Ketiga, fase
pra-operasional ini dinamakan juga fase intuisi, sebab pada masa ini manusia
mulai mengetahui perbedaan antara objek-objek sebagai suatu bagian dari
individu atau kelasnya. Empat, pandangan terhadap dunia pada fase ini
bersifat “animistic” artinya, bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia ini
adalah “hidup”. Kelima, pada fase ini pengamatan dan pemahaman anak
terhadap situasi lingkungan sangat dipengaruhi oleh sifatnya yang “egocentric”.
c.
Operasional
konkret, berkembang deri 7-11 tahun
Piaget melontarkan istilah concrete-operations (operasi-konkret)
untuk mendeskripsikan tahap berpikir “hands-on” (konkret; melibatkan
sentuhan fisik secara langsung), karateristik dasar tahap ini adalah pengenalan
stabilitas logis dunia fisik, kesadaran bahwa elemen-elemen dapat diubah atau
ditransformasikan dan masih mempertahankan banyak diantara karakteristik orisinilnya, dan pemahaman
bahwa perubahan-perubahan ini dapat dibalik.[7]
Dalam
periode konkret-operasional yang berlangsung hingga usia menjelang remaja, anak
memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan
langkah berpikir). Kemampuan satuan langkah berpikir ini berfaedah bagi anak
untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam
sistem pemikirannya sendiri.
Kemampuan
kognitif yang dimiliki anak pada fase ini meliputi:
a) Conservation (konservasi/pengekalan)
Adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek
kumulatif materi sepertil; volume dan jumlah. Anak yang mampu mengenali sifat
kuantitatif benda tersebut tidak akan berubah secara sembarangan. Contoh, air
dalam suatu wadah tidak akan berkurang atau bertambah walaupun dipindahkan
kedalam tempat yang lebih besar atau kecil.[8]
b) Addition of classes (pertambahan golongan benda)
Yakni kemampuan anak dalam memahami cara
mengkombinasikan beberapa golongan benda yang dianggap berkelas lebih rendah,
seperti mawar, melati , dan menghubungkannya ke kelas yang lebih tinggi,
seperti bunga.
c) Multiplication of classes (pelipatgandaan golongan benda)
Yakni kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai
cara mempertahankan dimensi-dimensi benda (seperti warna dan tipe bunga) untuk
membentuk gabungan golongan benda (seperti mawar merah, mawar putih).
Berdasarkan
hasil eksperimennya, Piaget menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap aspek
kuantitatif materi, penambahan golongan benda, dan pelipatgandaan golongan
benda merupakan ciri khas perkembangan kognitif anak usia 7-11 tahun. Hal
tersebut diiringi dengan berkurangnya egosentrisme anak. Artinya anak sudah
mulai memiliki kemampuan mengkoordinasikan pandangan orang lain dengan
pandangannya sendiri, dan memiliki presepsi positif bahwa pandangannya hanyalah
salah satu dari sekian banyak pandangan orang lain.
d.
Operasional
formal,yang dimulai dari 11 sampai dengan 14 tahun keatas.
Anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa
remaja akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran konkret–operasional.
Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan
baik secara serentak maupun berurutan, dua ragam kemampuan kognitif,yakni :
a) Kapasitas menggunakan hipotesis ; remaja mampu
berpikir hipotesis, yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal
pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan
lingkungan yang ia respons.[9]
b) Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip dasar; remaja
akan mampu mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak seperti ilmu agama,
ilmu matematika, dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih mendalam.[10]
Dua macam
kapasitas kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualitas skema kognitif itu
tentu telah dimiliki pula oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang
remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan
formal-operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa.
3. Perkembangan
sosial dan moral
Perkembangan sosial dan moral siswa merupakan aspek penting yang harus
dipahami oleh setiap perancang pembelajaran. Hal ini disebabkan pengembangan
aspek sosial dan moral adalah dasar dalam proses pendidikan. Keberhasilan
pengembangan sosial dan moral siswa disekolah akan sangat tergantung pada
kemampuan guru membangun sistem sosial pada setiap siswa.
Menurut Piaget (Santrock,
2007) ada dua tahap perkembangan moral anak. Pertama tahap hetoronomous morality
yang berlangsung dari kira-kira usia empat sampai tujuh tahun. Pada tahap ini,
keadilan dan aturan dianggap sebagai bagian dari dunia yang tidak bisa diubah
dan tidak bisa dikontrol oleh orang. Karena aturan adalah sesuatu yang mengikat
dan mutlak yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Tahap kedua adalah
tahap autonomous, yang berlangsung sejak usia sepuluh tahun atau lebih.
Pada tahap ini, anak menganggap bahwa aturan itu adalah buatan manusia dan
bahwa menilai suatu perbuatan niat si pelaku harus dipikirkan, oleh sebab itu
tidak semua pelanggaran aturan ada konsekuensi hukuman. Pada masa tujuh sampai
sepuluh tahun ini Piaget menanamkannya sebagai masa transisi, oleh karena itu
dua ciri tahapan akan mewarnai perilaku moral anak.
C.
PENERAPAN
SETIAP ASPEK PERKEMBANGAN DALAM PROSES PEMBELAJARAN
1.
Melatih Kemampuan dan
Pengembangan Fisik
Perkembangan fisik manusia berkembang secara bertahap. Proses pendidikan
harus sesuai dengan irama perkembngan fisik siswa. Proses pendidikan yang mampu
mengembangkan fisik sesuai dengan irama perkembangan fisik yang dimiliki setiap
anak akaa menjadi modal dasar untuk perkembangan lebih lanjut.
Pendidikan yang dilaksanakan pada anak usia TK misalnya, diarahkan untuk
lebih memfungsikan setiap organ tubuh. Pada masa usia ini, otot-otot anak masih
belum sempurna dan masih belum proporsional.
Ketika anak memasuki usia SD, perkembangan fisik anak semakin proporsional.
Artinya, organ-organ tubuh tumbuh serasi. Hal ini terbukti misalnya,
ukuran tangan kanan tidak lebih panjang dari ukuran tangan kiri; atau ukuran
leher tidak lebih besar dari pada ukuran kepala yang disangganya; ukuran
panjang kaki lebih serasi dengan ukuran panjang badan.
Ketika anak memasuki usia remaja misalnya, usia
memasuki SLTP dan SLTA, pertumbuhan dan perkembangan organ tubuh semakin
sempurna, baik dilihat dari bentuk dan proporsionalnya maupun dari kekuatan.
Arti penting pendidikan pada masa ini adalah memberi keterampilan-keterampilan
yang berguna untuk kehidupan yang kelak, sebab belajar keterampilan
(motor learning) dapat dilakukan manakala seseorang telah memiliki kemampuan
yang melibatkan penggunaan tangan, kaki, dan orang tubuh lainnya secara sempurna.
Untuk anak yang tidak dapat memfungsikan fisiknya dengan baik akan sulit
mengembangkan keterampilan.
2. Pembelajaran
Pengembangan Aspek Kognitif
Aspek kognitif berkaitan dengan kemampuan intelektual, yakni kemampuan anak
dalam menggunakan otak untuk berpikir. Kemampuan anak dalam menggunakan otak
adalah salah satu karakteristik yang dimiliki oleh manusia sihingga
membedakan manusia dengan makhluk lain.
Proses
pendidikan mestinya mengembangkan aspek kognitif pada anak agar ia mampu
mengunakan kemampuan berpikirnya dengan baik
Teori yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berpikir adalah
teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget. Menurut Santrock
(2007) ada beberapa hal yang dapat dijadikan panduan dalam menerapkan. Teori Piaget
untuk pendidikan anak seperti dikemukakan berikut
a. Gunakan
pendekatan konstruktivitas.
b. Fasilitasi
mereka untuk belajar.
c. Pertimbangkan
pengetahuan dan tingkat pikiran anak.
d. Gunakan
penilaian terus-menerus.
e. Tingkatkan kemampuan
intelektual murid.
f.
Jadikan
ruang kelas menjadi ruangan eksplorasi dan penemuan.
3. Pendidikan
Moral Siswa
Pendidikan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses
pendidikan. Terdapat
beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan moral, yakni pendidikan karakter,
klarifikasi nilai dan pendidikan moral kognitif
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang bersentuhan lansung dengan
pembentukan moral anak. Pendidikan karakter adalah proses mengajari anak dengan
pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka meakukan tindakan-tindakan tak
bermoral yang membahayakan orang lain dan membahayakan dirinya sendiri sepertu
perilaku berbohong, menipu dan mencuri.
Pendidikan moral merupakan pendidikan dasar bagi anak didik agar ia dapat
bertingkah laku dengan nilai-nilai atau norma. Dengan pendidikan moral yang
ditanamkan dalam jiwa anak maka ia bisa membedakan hal-hal yang negatif dan
positif. Pendidikan
moral kognitif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus
mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka sedang
berkembang (Santrock, 2007)[11]
Pendidikan demokrasi harus diberikan pada anak didik berbarengan dengan
pendidikan moral, pendidikan tersebut bertujuan agar anak didik memiliki nilai-nilai
kemanusiaan sebagai manusia yang hidup secara bermasayrakat. Beberapa hal
yang perlu dapat membantu perkembangan moral anak dalam proses pendidikan
disekolah seperti yang dikemukakan Honing dan Witter (1996) adalah
sebagai berikut:
a. Hargai dan
tekankan konsiderasi kebutuhan orang lain
b. Jadilah
contoh perilaku prososial
c. Berilah
label dan identifikasi perilaku prososial dan perilaku antisocial
d. Bantu siswa
untuk menentukan sikap dan memahami perasaan orang lain
e. Kembangkan proyek
kelas dan sekolah yang dapat meningkatkan altruisme.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manusia
adalah makhluk
yang unik karena memiliki bentuk jasmani yang sempurna dan memiliki
perkembangan psikologis yang sangat mengagumkan. Karena setiap perkembangan manusia itu memiliki
karakteristik yang berbeda. Manusia ketika baru dilahirkan kedunia manusia
adalah makhluk yang lemah dan tak berdaya, ketidak
berdayaan manusia sejak lahir mungkin kalah bila dibandingkan dengan binatang.
Binatang yang baru lahir sudah mampu berjalan dan sebagainnya, sedangkan
manusia yang baru lahir tidak mampu hidup tanpa bantuan orang dewasa, namun
dibalik kelemahan dan ketidak keberdayaan manusia tersebut memiliki potensi
yang sangat besar yang bila dibandngkan dengan makhluk lain.
Pada manusia juga memiliki
bentuk perkembangan, yaitu 1) perkembangan motorik,
2) perkembangan kognitif, 3)
perkembangan sosial dan moral.
Dan penerapan setiap aspek perkembangan dalam proses
pembelajaran dapat melalui: 1) melatih kemampuan dan pengembangan fisik, 2) pembelajaran pengembangan aspek kognitif, 3) pendidikan moral siswa.
B.
Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah kami uraikan kepada pembaca maka penulis
menyarankan kepada pembaca untuk membaca sumber lain yang berkaitan dengan,
perkembangan siswa agar dapat menambah pemahamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Jarvis, Matt. 2011. Teori-Teori Psikologi. Bandung: Penerbit
Nusa Media.
Mustaqin dan Wahid, Abdul. 1991. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan desain sistem
pembelajaran. Jakarta: Prenada
Media Group.
Soetomo,
Wasty. 1990. Psikologi
Pendidikan. Malang: PT.
Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung;
PT Remaja Rosdakarya.
Woolfolk, Anita. 2000.
Educational Psychology Active Learning Edition. Yoyakarta: Pustaka Belajar.
[1]
Wina sanjaya, perencanaan dan
desain sistem pembelajaran, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h, 251.
[3]
Wina
Sanjaya, Perencanaan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta:Prenada Media
Group, 2008), h, 253.
[5] DR. Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan, Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2010., h. 68
[7] Anita Woolfolk,
Educational Psychology Active
Learning Edition, Yoyakarta, Pustaka Belajar;2000.,h. 55
[9] Drs. Wasty
Soetomo, Psikologi Pendidikan, Malang, PT. Rineka Cipta;1990., h. 126.
[11] Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem
Pembelajaran, (Jakarta: Prenada Media Group), h, 277.
MENGENAL PERKEMBANGAN SISWA SEBAGAI SUBJEK BELAJAR
4/
5
Oleh
Unknown