Senin, 01 Juni 2015

MENGENAL PERKEMBANGAN SISWA SEBAGAI SUBJEK BELAJAR



BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Sekolah sering dijadikan tumpuan utama masyarakat dalam menilai berhasil tidaknya pendidikan. Keberhasilan atau prestasi belajar siswa hanya sering dilihat sebagai kesuksesan dan keunggulan pihak sekolah semata. Sebaliknya, kegagalan atau rendahnya kualitas siswa sering dilihat sebagai ketidakmampuan pihak Sekolah dalam menyelenggarakan proses pendidikan.
Dalam proses pendidikan keberadaan siswa bukan sebagai objek atau barang yang dapat diperlakukan seperti mesin. Siswa adalah subjek pendidikan, yang di dalam dirinya terdapat bakat, minat, kemampuan dan motivasi yang berbeda-beda itulah sebabnya siswa sering kali disebut sebagai makhluk yang unik. Karena semuanya itu menunjukkan karakteristik keunikan siswa yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Asumsi dasar tersebut membawa konsekuensi logis, bahwa keberadaan siswa yang unik harus dipertimbangkan dan menjadi dasar dalam menyelenggarakan proses pendidikan. Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan membahas tentang mengenal perkembangan siswa sebagai subjek belajar.
B.           Rumusan Masalah
1.      Jelaskan maksud dari siswa sebagai makhluk yang unik ?
2.      Sebutkan dan jelaskan bentuk perkembangan siswa ?
3.      Bagaimana penerapan setiap aspek perkembangan dalam proses pembelajaran ?
C.          Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah : pertama, guru dapat memahami peran siswa di sekolah bukanlah sebagai objek namun sebagai subjek, di mana siswa ini juga dituntut berperan aktif dalam proses pembelajaran. Kedua, untuk mengetahui bentuk perkembangan dari siswa tersebut. Ketiga, diharapkan agar seorang guru dapat menerapkan setiap aspek perkembangan dalam proses pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    SISWA SEBAGAI MAKHLUK YANG UNIK
1.      Ciri-Ciri Keunikan Siswa
Tujuan lembaga pendidikan khusunya sekolah adalah mempersiapkan anak didik agar mereka  dapat hidup dimasyarakat.[1] Tugas pendidikan disekolah adalah membimbing dan membina serta mengembangkan potensi anak didik yang  dibawa sejak lahir agar mereka dapat hidup dimasyarakat yang penuh tantangan. Hal tersebut dapat diwujudkan oleh seorang guru yang dapat memahami anak didik sebagai makhluk yang unik.
Menurut wina sanjaya,[2] pada manusia terdapat keunikan-keunikan yang terjadi pada manusia.
Manusia berbeda dengan makhluk lain, Perbedaan tersebut karena kondisi psikologisnya. Manusia hidup bukan hanya sekedar hidup seperti yang terjadi pada binatang atau tumbuhan. Manusia adalah individu yang memiliki kondisi psikologis yang sangat kompleks. Kondisi psikologis inilah yang kemudian menempatkan manusia sebagai subjek yang berperan aktif di muka bumi, bukan hanya sekedar ada dan hadir, akan tetapi keberadan dan kehadiran manusia adalah keberadaan yang bermakna dan memiliki arti penting dalam menentukan dan meramaikan kehidupan di jagat raya ini.
Baik secara fisiologis ataupun psikologis manusia adalah makhluk yang dinamis, makhluk yang selamanya mengalami perkembangan dan perubahan. Ia berkembang khususnya secara fisik dari mulai ketidak mampuan dan kelemahan yang dalam segala aspek kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain, secara perlahan-lahan berkembang menjadi manusia yang mandiri yang mampu melepaskan bantuan orang lain dan pada akhirnya kembali pada posisi semula, yaitu manusia yang lemah.
Setiap perkembangan manusia memliki karakteristik yang berbeda. Manusia ketika baru dilahirkan kedunia manusia adalah makhluk yang lemah dan  tak berdaya, ketidak berdayaan manusia sejak lahir mungkin kalah bila dibandingkan dengan binatang. Binatang yang baru lahir sudah mampu berjalan dan sebagainnya, sedangkan manusia yang baru lahir tidak mampu hidup tanpa bantuan orang dewasa, namun dibalik kelemahan dan ketidak keberdayaan manusia tersebut memiliki potensi yang sangat besar  yang bila dibandngkan dengan makhluk lain.
2.      Peran Pendidikan Dalam Perkembangan Siswa
Dilihat dari perubahan yang terjadi setiap individu, ada dua perubahan yang terjadi, yakni perubahan pada aspek jasamani atau fisik dan perubahan psikopsikis (rohani). Perbahan fisik adalah perubahan yang berkaitan dengan pertumbuhan terhadap organ-organ tubuh manusia, perubahan ini dibatasi oleh waktu, dengan kata lain bahwa pertumbuhan tersebut akan berhenti apabila telah sampai pada kemantangan fisik.[3]
Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan kuantitatif pada material sesuatu sebagai akibat dari adanya pengaruh lingkungan. Perubahan kuanttatif ini dapat berupa pembesaran atau pertambahn dari tidak ada mejadi ada, dari kecil menjadi besar, dari sedikit menadi banyak, dari sempit menjadi luas.[4] Pertumbuhan berhubungan degan perubahan yang terjadi pada aspek jasmani manusia (fisik).
Perkembangan merupakan perubahan fungsi-fungsi (psikopsikis) setiap manusia kearah yang lebih baik dan sempurna. Apaila dilihat dari aspek pertumbuhan dan perkembangannya, ini memiliki konsekuensi kepada perlakuan pendidikan. Pada masa bayi pendidikan yang diberikan oleh orang dewasa lebih banyak memberikan bantuan untuk pertunuhan fisik, misalnya bagaimana agar anak dapat mefungsikan kakinya untuk bejalan ; bagaimana anak agar dapat memfungsikan tangannya untuk memegang; bagaimana anak dapat memfungsikan matanya untuk melihat dan lain sebagainya. Hal ini terus dilakukan sampai anak memiliki kemampuan mengendalikan dan memfungsikan organ tubuhnya.
Menginjak pada masa usia TK proses pendidikan bukan hanya sekedar melatih organ tubuhnya agar befungsi lebih sempurna , akan tetapi juga mengembangkan kemampuan psikologis yang mulai berkembang, misalnya mengembngkan daya cipta, mengembangkan keberanian, dan lain sebagainya melalui permainan-permainan yang menantang  serta melaui cerita-cerita khayalan untuk mengembangkan kemampuan imajinasi anak.
Pada masa anak usia SD, dunia khayal anak berubah menuju  dunia nyata yang konkret. Semua yang pernah dikhayalkan ia ingin konkretkan, yang berari peran pendidikan bergeser dari memberi bantuan secara fisiologis menjadi pemberian bantuan terhadap mental-psikologis anak. Pada masa ini, peran guru sebagai orang dewasa yang bertugas mengembangkan kemampuan intelektual anak semakin besar. Habis masa berpikir konkret anak berkembang pada kemampuan berpikir abstrak. Segala yang diajarkan tidak lagi perlu dengan menggunakan alat yang hanya berfungsi umtuk mengkonkretkan yang diajarkan.
Mengembangkan kemampuan berpikir melalui pemanfaatan potensi otak, merupakan peran pendidikan pada masa berpikir abstrak. Pada tahapan ini, anak didorong untuk mampu memecahkan masalah secara kritis dan logis serta anak didorong untuk secara aktif berkreasi menemukan gagasan baru melalui proses berpikir kreatif.
Dengan demikian, gurupun harus siap  dengan mengembangkan perannya sebagai mitra dialog serta fasilitator yang berperan untuk mempermudah siswa belajar, idealnya pada usia perkembangan ini, anak sudah bisa belajar mandiri; anak sudah memilki tanggung jawab untuk keberhasilannya, sehingga tugas dan peran guru bukan haya sebagai sumber belajar akan tetapi juga sebagai fasilitator dalam belajar.
B.     BENTUK PERKEMBANGAN SISWA
Untuk kepentingan pembelajaran, ada tiga bentuk perkembangan pada setiap manusia yakni:
1.      Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik adalah perkembangan yang berkaitan dengan perubahan otot dan gerakan-gerakan fisik. Terjadi perubahan fisik yang luar biasa pada anak menjelang usia remaja, yakni antara dua-tiga belas tahun hingga pada usia dua puluh satu-dua puluh dua tahun. Pada saat ini, perkembangan fisik anak akan semakin matang.
Perkembangan motorik anak berkembang dari mulai gerakan –gerakan yang muncul secara ilmiah, kemudian gerakan menirukan sesuatu dan gerakan  koordinasi antara gerakan fisik dan mental.
Ada tiga faktor penting yang dapat mempengaruhi kemampuan motorik anak atau perkembangan motor skills anak yang dapat diupayakan oleh orang lain diluar dirinya, misalnya orang  tua dan guru, yaitu 1) pertumbuhan dan perkembanga sistem saraf. 2) pertumbuhan otot-otot,dan 3) perubahan struktur jasmani. Faktor  lain yang mempengaruhi kemampuan motorik anak adalah perubahan struktur  fisik anak, maka akan semakin sempurna fisik anak, misalnya tinggi badan, bobot serta proporsi atau perbandingan struktur tubuh
2.      Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif  adalah perkembangan yang berkenaan dengan perilaku mental seseorang yang meliputi pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, dan pemecahan masalah.
Perubahan kognitif yaitu perkembangan yang terjadi pada intelegensi seseorang, dengan adanya perkembangan intelegensi seseorang dapat memiliki pemahaman yang semakin mendalam dan pengetahuan yang luas.
Pendidik sebagai orang yang membimbing anak didik dalam kegiatan belajar harus memperhatikan perkembngan kognitif (intelegensi) anak, agar pembelajaran yang diberikan sesuai dengan tingkatan intelegensi anak. Perkembangan intelegensi anak sangat dipengaruhi oleh tingkatan umur. Tiap tingkatan umur akan memiliki tingkatan itelegensi yang berbeda.
Untuk memahami perkembngan kognitif siswa, salah satu teori yang banyak digunakn adalah seperti yang dikemukakan oleh Piaget (1896-1980) adalah kemampuan kognitif merupakan suatua yang fundamental yang mengarahkan dan memimbimg perilaku anak. Ada dua konsep yang perlu diketahui untuk memahami teori perkembngan kognitif dari piaget,  yaitu konsep tentang fungsi dan konsep tentang struktur. Fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama untuk setiap orang. Tujuannya adalah untuk menyusun struktur kognitif internal. Sedangkan, struktur merupakan seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel yang digunakan untuk memahami lingkungan.
Menurut Piaget, perkembngan kognitif setiap individu  berlansung dalam bebrapa tahapan-tahapan tertentu. Tahapan-tahapan tersebut terdiri dari atas 4 fase, yaitu:
a.       Sensori motor berkembang dari 0-2 tahun
Piaget percaya, selama dua tahun pertama kehidupan kita, fokus utama kita tertuju pada sensasi fisik dan belajar mengkoordinasikan tubuh kita. Kita belajar bahwa tindakan tertentu mempunyai pengaruh khusus. Itulah sebabnya bayi merasa terpesona ketika menyadari bahwa dirinya bisa menggerakkan anggota-anggota badannya, lalu berlanjut dengan benda-benda lain.
Selama tahun kedua kehidupannya, bayi sengaja bereksperimen dengan berbagai tindakan untuk mengetahui pengaruhnya. Anak pada periode ini belajar cara mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami hal yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan diatas.[5]
Selanjutnya, bayi dibawah umur 18 bulan belum memiliki pengenalan object permanence. Artinya, benda apapun yang ia tidak lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar selalu dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada di tempat lain. Namun, dalam rentang usia antara 18 - 24 bulan barulah kemampuan mengenali object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis sehingga, benda-benda mainan dan orang-orang yang biasa berada disekitarnya (seperti ibu dan pengasuhnya) akan ia cari dengan sungguh-sungguh bila ia memerlukannya.
b.       Pra-operasional, mulai dari 2-7 tahun
Tahap Perkembangan ini menurut Piaget ditandai dengan beberapa ciri. pertama, bermula pada adanya kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek. Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Hal ini tentunya membuat pemikiran anak lebih didasarkan pada pemikiran lambang yang menggunakan bahasa daripada sensasi fisik, tetapi anak belum banyak mengerti tentang aturan logika (karena itulah diebut pra-operasional ).[6]
Ketiga, fase pra-operasional ini dinamakan juga fase intuisi, sebab pada masa ini manusia mulai mengetahui perbedaan antara objek-objek sebagai suatu bagian dari individu atau kelasnya. Empat, pandangan terhadap dunia pada fase ini bersifat “animistic” artinya, bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah “hidup”. Kelima, pada fase ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan sangat dipengaruhi oleh sifatnya yang “egocentric”.
c.        Operasional konkret, berkembang deri 7-11 tahun
Piaget melontarkan istilah concrete-operations (operasi-konkret) untuk mendeskripsikan tahap berpikir “hands-on” (konkret; melibatkan sentuhan fisik secara langsung), karateristik dasar tahap ini adalah pengenalan stabilitas logis dunia fisik, kesadaran bahwa elemen-elemen dapat diubah atau ditransformasikan dan masih mempertahankan banyak diantara karakteristik orisinilnya, dan pemahaman bahwa perubahan-perubahan ini dapat dibalik.[7]
Dalam periode konkret-operasional yang berlangsung hingga usia menjelang remaja, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir). Kemampuan satuan langkah berpikir ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri.
            Kemampuan kognitif yang dimiliki anak pada fase ini meliputi:
a)      Conservation (konservasi/pengekalan)
Adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek kumulatif materi sepertil; volume dan jumlah. Anak yang mampu mengenali sifat kuantitatif benda tersebut tidak akan berubah secara sembarangan. Contoh, air dalam suatu wadah tidak akan berkurang atau bertambah walaupun dipindahkan kedalam tempat yang lebih besar atau kecil.[8]
b)      Addition of classes (pertambahan golongan benda)
Yakni kemampuan anak dalam memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang dianggap berkelas lebih rendah, seperti mawar, melati , dan menghubungkannya ke kelas yang lebih tinggi, seperti bunga.
c)      Multiplication of classes (pelipatgandaan golongan benda)
Yakni kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda (seperti warna dan tipe bunga) untuk membentuk gabungan golongan benda (seperti mawar merah, mawar putih).
                              Berdasarkan hasil eksperimennya, Piaget menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap aspek kuantitatif materi, penambahan golongan benda, dan pelipatgandaan golongan benda merupakan ciri khas perkembangan kognitif anak usia 7-11 tahun. Hal tersebut diiringi dengan berkurangnya egosentrisme anak. Artinya anak sudah mulai memiliki kemampuan mengkoordinasikan pandangan orang lain dengan pandangannya sendiri, dan memiliki presepsi positif bahwa pandangannya hanyalah salah satu dari sekian banyak pandangan orang lain.
d.       Operasional formal,yang dimulai dari 11 sampai dengan 14 tahun keatas.
Anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa remaja akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran konkret–operasional. Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja  telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara serentak maupun berurutan, dua ragam kemampuan kognitif,yakni :
a)      Kapasitas menggunakan hipotesis ; remaja mampu berpikir hipotesis, yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respons.[9]
b)      Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip dasar; remaja akan mampu mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak seperti ilmu agama, ilmu matematika, dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih mendalam.[10]
Dua macam kapasitas kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualitas skema kognitif itu tentu telah dimiliki pula oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal-operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa.
3.      Perkembangan sosial dan moral
Perkembangan sosial dan moral siswa merupakan aspek penting yang harus dipahami oleh setiap perancang pembelajaran. Hal ini disebabkan pengembangan aspek sosial dan moral adalah dasar dalam proses pendidikan. Keberhasilan pengembangan sosial dan moral siswa disekolah akan sangat tergantung pada kemampuan guru membangun sistem sosial pada setiap siswa.
Menurut Piaget (Santrock, 2007) ada dua tahap perkembangan moral anak. Pertama tahap hetoronomous morality yang berlangsung dari kira-kira usia empat sampai tujuh tahun. Pada tahap ini, keadilan dan aturan dianggap sebagai bagian dari dunia yang tidak bisa diubah dan tidak bisa dikontrol oleh orang. Karena aturan adalah sesuatu yang mengikat dan mutlak yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Tahap kedua adalah tahap autonomous, yang berlangsung sejak usia sepuluh tahun atau lebih. Pada tahap ini, anak menganggap bahwa aturan itu adalah buatan manusia dan bahwa menilai suatu perbuatan niat si pelaku harus dipikirkan, oleh sebab itu tidak semua pelanggaran aturan ada konsekuensi hukuman. Pada masa tujuh sampai sepuluh tahun ini Piaget menanamkannya sebagai masa transisi, oleh karena itu dua ciri tahapan akan mewarnai perilaku moral anak.
C.    PENERAPAN SETIAP ASPEK PERKEMBANGAN DALAM PROSES PEMBELAJARAN
1.      Melatih Kemampuan dan Pengembangan Fisik
Perkembangan fisik manusia berkembang secara bertahap. Proses pendidikan harus sesuai dengan irama perkembngan fisik siswa. Proses pendidikan yang mampu mengembangkan fisik sesuai dengan irama perkembangan fisik yang dimiliki setiap anak akaa menjadi modal dasar untuk perkembangan lebih lanjut.
Pendidikan yang dilaksanakan pada anak usia TK misalnya, diarahkan untuk lebih memfungsikan setiap organ tubuh. Pada masa usia ini, otot-otot anak masih belum sempurna dan masih belum proporsional.
Ketika anak memasuki usia SD, perkembangan fisik anak semakin proporsional. Artinya, organ-organ tubuh tumbuh  serasi. Hal ini terbukti misalnya, ukuran tangan kanan tidak lebih panjang dari ukuran tangan kiri; atau ukuran leher tidak lebih besar dari pada ukuran kepala yang disangganya; ukuran panjang kaki lebih serasi dengan ukuran panjang badan.
Ketika anak memasuki usia remaja misalnya, usia memasuki SLTP dan SLTA, pertumbuhan dan perkembangan organ tubuh semakin sempurna, baik dilihat dari bentuk dan proporsionalnya maupun dari kekuatan. Arti penting pendidikan pada masa ini adalah memberi keterampilan-keterampilan yang berguna untuk kehidupan yang kelak,  sebab belajar keterampilan (motor learning) dapat dilakukan manakala seseorang telah memiliki kemampuan yang melibatkan penggunaan tangan, kaki, dan orang tubuh lainnya secara sempurna. Untuk anak yang tidak dapat memfungsikan fisiknya dengan baik akan sulit mengembangkan keterampilan.
2.      Pembelajaran Pengembangan Aspek Kognitif
Aspek kognitif berkaitan dengan kemampuan intelektual, yakni kemampuan anak dalam menggunakan otak untuk berpikir. Kemampuan anak dalam menggunakan otak adalah salah satu  karakteristik yang dimiliki oleh manusia sihingga membedakan manusia dengan makhluk lain.
Proses pendidikan mestinya mengembangkan  aspek kognitif pada anak agar ia mampu mengunakan kemampuan berpikirnya dengan baik
Teori yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berpikir adalah teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget. Menurut Santrock (2007) ada beberapa hal yang dapat dijadikan panduan dalam menerapkan. Teori Piaget untuk pendidikan anak seperti dikemukakan berikut
a.    Gunakan pendekatan konstruktivitas.
b.    Fasilitasi mereka untuk belajar.
c.    Pertimbangkan pengetahuan dan tingkat pikiran anak.
d.   Gunakan penilaian terus-menerus.
e.    Tingkatkan kemampuan intelektual murid.
f.     Jadikan ruang kelas menjadi ruangan eksplorasi dan penemuan.

3.      Pendidikan Moral Siswa
Pendidikan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan. Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan moral, yakni pendidikan karakter, klarifikasi nilai dan pendidikan moral kognitif
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang bersentuhan lansung dengan pembentukan moral anak. Pendidikan karakter adalah proses mengajari anak dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka meakukan tindakan-tindakan tak bermoral yang membahayakan orang lain dan membahayakan dirinya sendiri sepertu perilaku  berbohong, menipu dan mencuri.
Pendidikan moral merupakan pendidikan dasar bagi anak didik agar ia dapat bertingkah laku dengan nilai-nilai atau norma. Dengan pendidikan moral yang ditanamkan dalam jiwa anak maka ia bisa membedakan hal-hal yang negatif dan positif. Pendidikan moral kognitif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka sedang berkembang (Santrock, 2007)[11]
Pendidikan demokrasi harus diberikan pada anak didik berbarengan dengan pendidikan moral, pendidikan tersebut bertujuan agar anak didik memiliki nilai-nilai kemanusiaan sebagai manusia yang hidup secara bermasayrakat. Beberapa hal yang perlu dapat membantu perkembangan moral anak dalam proses pendidikan disekolah seperti yang dikemukakan Honing dan Witter (1996)  adalah sebagai berikut:
a.    Hargai dan tekankan konsiderasi kebutuhan orang lain
b.    Jadilah contoh perilaku prososial
c.    Berilah label dan identifikasi perilaku prososial dan perilaku antisocial
d.   Bantu siswa untuk menentukan sikap dan memahami perasaan orang lain
e.   Kembangkan proyek kelas dan sekolah yang dapat meningkatkan altruisme.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang unik karena memiliki bentuk jasmani yang sempurna dan memiliki perkembangan psikologis yang sangat mengagumkan. Karena setiap perkembangan manusia itu memiliki karakteristik yang berbeda. Manusia ketika baru dilahirkan kedunia manusia adalah makhluk yang lemah dan  tak berdaya, ketidak berdayaan manusia sejak lahir mungkin kalah bila dibandingkan dengan binatang. Binatang yang baru lahir sudah mampu berjalan dan sebagainnya, sedangkan manusia yang baru lahir tidak mampu hidup tanpa bantuan orang dewasa, namun dibalik kelemahan dan ketidak keberdayaan manusia tersebut memiliki potensi yang sangat besar  yang bila dibandngkan dengan makhluk lain.
Pada manusia juga memiliki bentuk perkembangan, yaitu 1) perkembangan motorik, 2) perkembangan kognitif, 3) perkembangan sosial dan moral.
Dan penerapan setiap aspek perkembangan dalam proses pembelajaran dapat melalui: 1) melatih kemampuan dan pengembangan fisik, 2) pembelajaran pengembangan aspek kognitif, 3)   pendidikan moral siswa.

B.     Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah kami uraikan kepada pembaca maka penulis menyarankan kepada pembaca untuk membaca sumber lain yang berkaitan dengan, perkembangan siswa agar dapat menambah pemahamanya.




DAFTAR PUSTAKA


Jarvis, Matt. 2011.  Teori-Teori Psikologi. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Mustaqin dan Wahid, Abdul. 1991. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan desain sistem pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Group.
Soetomo, Wasty. 1990.  Psikologi Pendidikan. Malang: PT. Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin. 2010.  Psikologi Pendidikan. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
Woolfolk, Anita. 2000.  Educational  Psychology Active Learning Edition. Yoyakarta:  Pustaka Belajar.



[1] Wina sanjaya, perencanaan dan desain sistem pembelajaran, (Jakarta: Prenada Media Group,  2008), h, 251.
[2] Ibid, h, 252.
[3] Wina Sanjaya, Perencanaan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta:Prenada Media Group, 2008),  h, 253.
4 Mustaqin dan Abdul Wahid, Psikologi Pendidkan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h, 24.
[5] DR. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2010., h. 68
[6] Matt Jarvis, Teori-Teori Psikologi, Bandung;Penerbit Nusa Media, 2011., h. 149
[7] Anita Woolfolk, Educational  Psychology Active Learning Edition, Yoyakarta, Pustaka Belajar;2000.,h. 55
[8] DR. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2010., h. 71.
[9] Drs. Wasty Soetomo, Psikologi Pendidikan, Malang, PT. Rineka Cipta;1990., h. 126.
[10] Ibid., h.127
[11] Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Prenada Media Group), h, 277.

Artikel Terkait

MENGENAL PERKEMBANGAN SISWA SEBAGAI SUBJEK BELAJAR
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email