BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini ilmu pngetahuan
dan teknologi di bidang kedokteran berkembang dengan pesat. Salah satunya
adalah kemajuan dalam teknik transfuse darah dan transplantasi organ tubuh. Transfuse
darah dan transplantasi organ tubuh merupakan suatu teknologi medis untuk
melakukan transfuse darah dan penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi dengan organ dari individu yang
lain. Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal
dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang
transplantasi maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan
pengawetan organ, penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin baik
sehingga berbagai organ dan jaringan dapat ditransplantasikan. Dalam beberapa
kepustakaan disebutkan bahwa transplantasi organ sudah dilakukan sejak tahun 600 SM. Dimana
saat itu Susruta dari India telah melakukan transplantasi kulit.
Transplantasi
adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu organ ke orang lain.
Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medic yang
sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat.
Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk
menolong pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan
dibandingkan dan hingga dewasa ini terus
berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medic ini tidak dapat
dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medic, yaitu
dari segi agama, hokum, budaya, etika da moral. Kendala lain yang dihadapi
Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplantasi adalah terbatasnya
jumlah donor keluarga (living related donor, LDR) dan donasi organ
jenazah. Karena itu diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara para
pakar terkait (hokum, kedokteran, sosiologi , pemuka agama, pemuka masyarakat),
pemerintah dan swasta.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah
pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang
dimaksud dengan transfuse darah dan transplantasi organ tubuh?
2. bagaimanakah pandangan islam terhadap seseorang yang
melakukan donor darah, transfuse darah dan transplantasi organ tubuh?
3. Bagaimana
hubungan antara seorang donor dengan resipien?
4. Bagaimanakah
menurut pendapat para ahli tentang hokum memperjualbelikan darah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui
pengertian transfuse darah dan transplantasi anggota badan.
2. Untuk
mengetahui bagaimana
pandangan Islam mengenai donor darah, transfusi darah dan transplantasi anggota
badan.
3. Untuk mengetahui
hubungan seorang donor dengan resipien.
4. Untuk
mengetahui bagaimana pendapat
para ahli mengenai hokum memperjualbelikn darah.
D. Metode Penulisan
Adapun
metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode kepustakaan,
yaitu menggunakan buku-buku literatur yang sesuai dengan pembahasan makalah
ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Transfusi Darah
1.
Pengertian
Perkataan transfusi
darah, adalah terjemahan dari bahasa inggris “blood transfution” kemudian diterjemahkan dokter arab menjadi
(memindahkan darah karena kepentingan medis). Lalu Dr. Ahmad Sofyan mengartikan
transfusi darah dengan istilah “pindah-tuang darah” sebagaimana dikemukakannya
dalam rumusan definisinya yang berbunyi:
“Pengertian
pindah-tuang darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah
orang yang yang akan ditolong”
Sedangkan
Asy-Syekh Husain Muhammad Makhluuf merumuskan definisinya sebagai berikut:
نَقْلُ الدَّمِ لِلْعِلَاجِ هُوَ الْإِنْتِفَاعُ بِدَمِ
الْإِنْسَانِ بِنَقْلِهِ مِنَ الصَّحِيْحِ إِلَى المَرِيْضِ لِاِ نْقَاذِ
حَيَاتِهِ.
Artinya:
Transfusi
darah adalah memanfaatkan darah manusia, dengan cara memindahkannya dari
(tubuh) orang yang sehat kepada orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan
hidupnya.[1]
2.
Pandangan islam mengenai transfuse darah
Islam tidak
melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan
kemanusiaan, bukan komersialisasi; baik darahnya itu disumbangkan secara
langsung kepada orang yang memerlukan transfusi darah, misalnya untuk anggota
keluarga sendiri, maupun diserahkan kepada palang merah atau bank darah untuk
disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama
dengan donornya mengenai
agama/kepercayaannya, bangsa/suku bangsanya, dan sebagainya. Karena
menyumbangkan darah dengan ikhals itu adalah termasuk amal kemanusiaan yang
sangat dihargai dan dianjurkan oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa
manusia, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 32:
ô`tBur
$yd$uômr&
!$uK¯Rr'x6sù
$uômr&
}¨$¨Y9$#
$YèÏJy_
4
Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, Maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Jadi, boleh saja
mentransfusi darah seorang muslim untuk orang non-muslim (Katolik, Hindu,
Budha, dan sebagainya), dan sebaliknya demi menolong dan memuliakan/menghormati
harkat dan martabat manusia (human dignity). Sebab Allah sebagai Khalik
alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana
firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 70:
ôs)s9ur
$oYøB§x.
ûÓÍ_t/
tPy#uä
…
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (manusia)
Berdasarkan ayat di atas, maka sudah seharusnya
manusia bisa saling tolong menolong, dan menghormati sesamanya (mutual
respect).
Adapun dalil syar’i yang bisa menjadi pegangan untuk membolehkan
transfusi darah tanpa mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah
hukum fiqh Islam yang berbunyi:
اَلْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ
الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh
hukumnya, kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan tidak ada satu ayat dan satu hadis pun yang
secara eksplisit atau dengan nash yang sharih melarang transfusi darah; maka
berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan perbuatannya sebagai donor darah
itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan
menolong jiwa sesama manusia.
Namun, untuk memperoleh maslahah dan menghindari mafsadah
(bahaya/resiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah,
sudah tentu transfusi itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang
teliti terhadap kesehatan kedua-duanya, terutama kesehatan donor darah harus
benar-benar bebas dari penyakit menular yang dideritanya, seperti penyakit AIDS
(penyakit yang menyebabkan penderitanya kekurangan/kehilangan daya tahan
tubuhnya).
Jelaslah, bahwa persyaratan diperbolehkannya transfusi
darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan ini
harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah hukum Islam sebagai berikut:
a)
اَلضَّرَرُ يُزَالُ ,
artinya Bahaya itu harus dihilangkan (dicegah). Misalnya bahaya kebutaan
harus dihindari dengan berobat dan sebagainya.
b) اَلضَّرَرُ لَا يُزَالُ
بِالضَّرَرِ ,
artinya Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain ( yang lebih
besar bahayanya). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena
kecelakaan lalu lintas, atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang
terkena AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar/berakibat fatal.
c)
لَا ضّرَرَ وَ لَا ضِرَارِ ,
artinya Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula
membuat mudarat kepada orang lain. Misalnya seorang pria yang impoten atau
terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih
hidup tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain.
3.
Hubungan antara Donor dan
Resipien
Transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya
hubungan kemahraman (haram perkawinan) antara donor dan resipien. Sebab
faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam
sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’a Surat An-Nisa ayat 23, ialah:
a.
Mahram karena adanya hubungan nasab. Misanya hubungan
antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung/sebapak/seibu dan
sebagainya.
b.
Mahram karena adanya hubungan perkawinan. Misalnya
hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dari istri yang telah
disetubuhi dan sebagainya.
c.
Mahram karena adanya hubungan sepersusuan. Misalnya
hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang
yang sepersusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya
(An-Nisa ayat 24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada
An-Nisa ayat 23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak adanya hubungan
kemahraman, kecuali mengawini seorang wanita bersama bibinya secara poligamis
dilarang berdasarkan hadis Nabi. Maka jelaslah, bahwa transfusi darah tidak
mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Karena itu,
perkawinan antara donor dan resipien diizinkan oleh agama (hukum Islam),
berdasarkan mafhum mukhalafah Surat An-Nisa ayat 23-24 tersebut di atas.
4.
Hukum Memperjualbelikan
Darah
Sebagaimana telah diketahui, bahwa sumber darah amat
terbatas, sedang yang memerlukannya sangat banyak, apalagi sering terjadi
kecelakaan, ada yang tidak tertolong karena kehabisan persediaan darah.
Dalam keadaan seperti ini, mungkin ada orang yang
mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan, yaitu memperjualbelikan
darah. Bila diberi peluang dan tidak ketat diawasi, maka timbul kekhawatiran,
bahwa ada di antara anggota masyarakat yang menjual darahnya karena didesak
keperluan hidupnya. Akhirnya bisa membahayakan para donor tersebut, karena
diperiksa terlebih dahulu, atau darah yang diperjualbelikan itu milik dari
donor yang mempunyai penyakit yang berbahaya.
Kalau dipikir-pikir dalam-dalam, maka orang yang
memperjualbelikan darah itu kurang manusiawi, sebab penggunaan darah itu adalah
untuk menolong nyawa si penderita (secara lahiriahnya). Dalam keadaan yang
semacam ini, seharusnya yang berbicara adalah nurani, bukan materi yang
menonjol.
Kalau di tinjau dari segi hukum, maka di antara ulama
ada yang memperbolehkan jual beli darah, sebagaimana halnya jual beli barang
najis yang ada manfaatnya, seperti kotoran hewan. Dengan demikian secara
analogis (Qiyas), diperbolehkan memperjualbelikan darah manusia (sama-sama
najis) dan memang besar manfaatnya untuk menolong jiwa manusia. Pendapat ini
dianut oleh mazhab Hanafi dan Zhahiri.[2]
B. Transplantasi Anggota Badan
1.
Pengertian
Pencangkokan (transplantasi)
ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang
apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan
hidupnya tidak ada lagi.
Pada saat ini juga, ada
upaya memberikan organ tubuh kepada orang yang memerlukan, walaupun orang itu
tidak menjalani pengobatan, yaitu untuk orang yang buta. Hal ini khusus donor
mata bagi orang buta.
Pencangkokan
organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah : mata, ginjal dan
jantung. Karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk
manusia terutama sekali ginjal dan jantung.
2.
Macam-macam donor organ tubuh
Ada 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe
mempunyai permasalahannya sendiri, yaitu:
a.
Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan
seleksi yang cermat dan general check up (pemeriksaan kesehatan yang
lengap), baik terhadap donor maupun terhadap si penerima (resipien),
demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh karena penolakan
tubuh resipien, dan sekaligus untuk mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut
data statistik, 1 dari 1000 donor meninggal dan si donor juga merasa was-was
dan tidak aman, karena menyadari bahwa dengan menyumbangkan sebuah ginjalnya, misalnya,
ia tidak akan memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala.
b.
Donor dalam keadaan hidup koma atau diduga kuat akan
meninggal segera. Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat
kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan
khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut di cabut, setelah
selesai proses pengambilan ogan tubuhnya. Hanya, criteria mati secara
medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas. Apakah
kriteria mati itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan
(sebagaimana rumusan PP No. 18/1981) ataukah ditandai dengan berhentinya fungsi
otak (sebagaimana rumusan Kongres IDI tahun 1985). Penegasan criteria mati
secara klinis dan yuridis itu sangat penting bagi dokter sebagai pegangan dalam
menjalankan tugasnya, sehingga ia tidak khawatir dituntut melakukan pembunuhan
berencana oleh keluarga yang
bersangkutan sehubungan dengan praktek transplantasi itu.
c.
Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang
ideal, sebab secara medis tinggal menunggu penetuan kapan donor dianggap
meninggal secara medis dan yuridis dan harus diperhatikan pula daya tahan tubuh
yang mau diambil untuk transplantasi.
3.
Pandangan islam mengenai transplantasi organ tubuh
Bagaimana pandangan Islam
terhadap transplantasi ketiga organ tubuh tersebut di atas, yakni mata, ginjal, dan jantung?
Jawaban masalah ini tergantung kepada kondisi donornya, apakah donor dalam
keadaan hidup sehat, ataukah dalam keadaan koma atau hampir meninggal, ataukah
dalam keadaan mati.
Apabila pencangkokkan mata
(selaput bening mata atau kornea mata), ginjal, dan jantung dari donor dalam
keadaan hidup sehat, maka menurut hemat penulis, Islam tidak membenarkan
(melarang), karena:
1.
Firman Allah dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat
195:
wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$#
Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah
berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai
tujuan kemanusiaan yang luhur.
Misalnya seorang menyumbangkan sebuah matanya atau
sebuah ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak berfungsi ginjalnya,
sebab selain ia mengubah ciptaan Allah yang membuat buta mata dan ginjal
berpasangan, juga ia menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya
atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu.
2.
Kaidah Hukum Islam
دَرْءُ اْلمَفَا سِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى
جَلْبِ اْلمَصَا لِحِ
Menghindari kerusakan/resiko dudahulukan atas menarik
kemaslahatan
Misalnya, menolong orang dengan cara mengorbankan
dirinya sendiri bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak dibolehkan oleh Islam.
3.
Kaidah Hukum Islam
اَلضَّرَرُ
لًا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.
Misalnya, bahaya yang mengancam jiwa si A, tidak boleh
diatasi/dilenyapkan dengan cara yang bisa menimbulkan bahaya baru yang
mengancam jiwa orang yang menolong si A tersebut.
Apabila pencangkokkan mata, ginjal, atau jantung dari
donor dalam keadaan koma atau hampir meninggal; maka Islam pun tidak
mengizinkan, karena:
1.
Hadits Nabi
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh membikin mudarat
pada dirinya dan tidak boleh pula membikin mudarat pada orang lain.
Misalnya orang yang organ
tubuh dari seorang donor yang belum mati secara klinis dan yuridis untuk
transplantasi, berarti ia membuat mudarat kepada donor yang berakibat
mempercepat kematiannya
2.
Manusia wajib berikhtiar untuk menyembuhkan
penyakitnya, demi mempertahankan hidupnya; tetapi hidup dan mati itu di tangan
Allah. Karena itu manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri (bunuh diri)
atau mempercepat kematian orang lain, sekalipun dilakukan oleh dokter dengan
maksud untuk mengurangi/menghentikan penderitaan si pasien.
Apabila pencangkokan mata,
ginjal, atau jantung dari donor yang telah meninggal secara yuridis dan klinis,
maka menurut penulis, Islam bisa mengizinkan dengan syarat:
1.
Resipien (penerima sumbangan donor) berada dalam
keadaan darurat, yang mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara
medis dan nonmedis, tetapi tidak berhasil.
2.
Pencangkokkan tidak akan menimbulkan komplikasi
penyakit yang lebih gawat bagi resipien dibandingkan dengan keadaannya sebelum
pencangkokkan.
Adapun dalil syar’I yang
dapat dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokkan mata (selaput
bening/kornea mata), ginjal, atau jantung, antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 195 di atas, yang
menurut sebab turun ayatnya adalah para Sahabat Nabi mulai merasa Islam dan umat
Islam telah menang dan kuat. Karena itu, mereka ingin melakukan bisnis perdagangan dan
sebagainya dengan sepenuh tenaga guna memperoleh kembali harat benda yang
lenyap selama itu akibat perjuangan untuk agama. Maka ayat ini memperingatkan
kepada Sahabat agar tidak tergoda oleh harta sampai lengah dan lupa perjuangan
yang mulia, sebab musuh-musuh Islam masih tetap mencari dan menunggu kelengahan
umat Islam agar dengan mudah Islam dapat dihancurkan.
Ayat tersebut secara analogis dapat dipahami, bahawa Islam
tidak membenarkan pula orang yang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya maut
atau tidak berfungsinya organ tubuh yang sangat vital baginya, tanpa usaha
penyembuhan secara medis dan nonmedis, teremasuk pencangkokkan organ tubuh,
yang secara medis memberi harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahan
hidup dengan baik.
2.
Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 32:
ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4
Dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Ayat ini menunjukkkan bahawa Islam sangat menghargai
tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia. Misalnya seorang yang
menemukan bayi yang tidak berdosa yang di buang di sampah, wajib mengambilnya
untuk menyelamatkan jiwanya. Demikian pula seorang yang dengan ikhlas hati mau
menyumbangkan organ tubuhnya (mata, ginjal, atau jantung) setelah ia meninggal,
maka Islam membolehkan, bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan
yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa sesama manusia atau memebantu
berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
3.
Hadis Nabi
تَدَاوُوْاعِبَادَ اللهِ فَإِنَّ
اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّاوَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَدَاءٍوَاحِدٍ اْلهَرَمُ
Berobatlah
kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu
penyakit, kecuali Dia juga meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang
satu, yaitu penyakit tua (Hadis riwayat Ahman bin Hanbal, At-Tirmidzi, Abu
Daud, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim dari Usamah bin Syarik)
Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam
wajib berobat jika menderita sakit, apa pun macam penyakitnya, sebab setiap
penyakit berkah kasih sayang Allah, pasti ada obat penyembuhnya, kecuali sakit
tua. Karena itu penyakit yang sangat ganas, seperti kanker dan AIDS yang telah
banyak membawa korban manusia di seluruh dunia, terutama di dunia Barat, yang
hingga kini belum diketahui obatnya,
maka pada suatu waktu akan ditemukan pula obatnya.
4.
Kaidah hukum Islam:
اَلضَّرَرُ يُزَالُ
Bahaya itu dilenyapkan / dihilangkan.
Seorang yang menderita sakit jantung
atau ginjal yang sudah mencapai stadium yang gawat, maka ia menghadapi bahaya
maut sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah hukum di atas, bahaya maut itu harus
ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Dan jika usaha pengobatan secara medis
biasa tidak bisa menolong, maka demi menyelamatkan jiwanya, pencangkokan
jantung atau ginjal diperbolehkan karena kaeadaan darurat. Dan ini berarti,
kalau penyembuhan penyakitnya bisa dilakukan tanpa pencangkokan, maka
pencangkokan organ tubuh tidak dikenakan.
5. Menurut
hukum
wasiat, keluarga orang meninggal wajib melaksanakan wasiat orang yang meninggal
mengenai hartanya dan apa yang bisa bermanfaat,
baik untuk kepentingan si mayat itu sendiri (melunasi utang-utangnya),
kepentingan ahli waris dan non ahli
waris, maupun untuk kepentingan agama dan umum (kepentingan social, pendidikan,
dan sebagainya). Berhubung si donor organ tubuh telah membuat wasiat untuk
menyumbangkan organ tubuhnya untuk kepentingan kemanusian, maka keluarga/ahli
waris wajib membantu pelaksanaan wasiat si mayat itu.
Sebaliknya, apabila seseorang pada waktu
hidupnya tidak mendaftarkan dirinya sebagai donor organ tubuh dan ia tidak pula
memberi wasiat kepada keluarga/ahli warisnya untuk menyumbangkan organ tubuhnya
apabila ia nanti meninggal , maka keluarga/ahli warisnya tidak berhak
mengizinkan pengambilan organ tubuh si mayat untuk pencangkokan atau untuk
penelitian ilmiah dan sebagainya.[3]
4. Hubungan antara Donor dan
Resipien
Bagaimana
menurut islam, apakah donor organ tubuh itu bisa mendapat pahala, jika resipien
(penerima organ tubuh) orang yang saleh, dan apakah si donor juga
menanggung dosa, jika resipien-nya
orang yang suka berbuat maksiat? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan
tegas “tidak”! berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut.
1. Al-Qur’an
Surat Al-Najm ayat 39-41 :
br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ ¨br&ur ¼çmu÷èy t$ôqy 3tã ÇÍÉÈ §NèO çm1tøgä uä!#tyfø9$# 4nû÷rF{$# ÇÍÊÈ
Artinya:
Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).
kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna,
Ayat-ayat
di atas menunjukkan, bahwa setiap orang hanya akan mendapat balasan/ganjaran
dari Allah sesuai dengan amalnya
masing-masing.
2. Al-Qur’an
Surat Al-Najm ayat 38 :
wr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ
Artinya:
(yaitu)
bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
Ayat ini menunjukkan, bahwa seorang
tidak menanggung dosa orang lain. Berdasarkan ayat ini dan ayat-ayat tersebut
diatas (Al-Najm 39-41), maka islam tidak mengenal swarga nunut, neraka
katut.
3. Hadits
Nabi :
إِذَامَا ت الْإِنْسَا نَ
اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّامِنْ ثَلَا ثٍ صَدَ قَةٍ جَا رِيَةٍ ، أَوْعِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَا لِحٍ يَدْ عُوْلَهُ
Jika manusia itu telah meninggal, maka
terputuslah amalnya, kecuali yang meninggalkan tiga hal, yaitu : 1.
Sedekah/amal jariah (wakaf), 2. Ilmu
yang diambil bernanfaatnya
oleh orang lain, dan 3. Anak saleh yang mendoakan untuk orang tuanya. (Hadits
riwayat Al-Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah)
Karena itu, menurut penulis, donor organ
tubuh tidak bertanggung jawab atas perbuatan resipien, sebagaimana ia
(donor) tidak berhak memperoleh pahala dari amalan-amalan yang baik dari resipien,
sebab sumbangan organ tubuh itu tidak termasuk dalam kategori tiga hal yang
disebut dalam hadist di atas.[4]
Juga perlu diingat, bahwa
yang salah bukan organ tubuh, tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat saraf.
Oleh karena itu tidak usah khawatir dengan organ tubuh yang disumbangkan,
karena tujuannya adalah untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat.
Hal ini sama dengan hukum transfusi darah.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Transfusi darah adalah memanfaatkan darah
manusia, dengan cara memindahkannya dari (tubuh) orang yang sehat kepada orang
yang membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya. Dan Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah
menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan. Juga perlu diketahui bahwa
transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman
(haram perkawinan) antara donor dan resipien.
2. Pencangkokan
(transplantasi) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang
sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi
dengan baik. Pandangan Islam terhadap transplantasi ketiga organ tubuh
tersebut tergantung kepada kondisi
donornya, apakah donor dalam keadaan hidup sehat, koma ataukah dalam keadaan
mati.
B. Saran
Semoga
makalah kami ini mampu memberikan manfaat dan bahan pembelajaran bagi segenap
pembaca. Apabila dalam makalah kami ini masih banyak kekurangan, kami mohon
maaf. Dan dari para pembaca kami harapkan kritik dan sarannya untuk membangun
makalah ini supaya menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin. Masail
Al-Fiqhiyah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2003.
Hasan,
M. Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2000.
Majhudin.
Masailul Fiqhiyah. Jakarta : Kalam Mulia.
2003.
[1] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta:
Kalam Mulia, 2003, h. 89-90
[2] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah,
Jakarta: PT RajaGrafindo, 2000, h. 117-118
[5] Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, h.111
Masailul Fiqh Tentang Transfusi Darah dan Transplantasi Anggota Badan
4/
5
Oleh
Unknown