BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fiman Allah SWT
:
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Artinya:sesungguhnya yang paling
mulia disisi Allah adalah di antara kalian yang paling bertakwa. (QS. Al-Hujarat(49): 13)
Pada ayat di
atas ini menyatakan bahwa kemuliaan
seseorang bukan dilihat dari fisiknya saja, tapi melihat pada ketakwaan
seseorang. Baik itu pemuda, dewasa, tua, kaya, miskin, kuat, lemah, laki-laki
mau pun wanita semuanya sama di sisi Allah SWT. Pada kenyataanya wanita di anggap mahluk yang lemah dibandingkan laki-laki.
Semua agama mempunyai perhatian yang spesifik terhadap
wanita. Dalam Al- Qur’an terdapat sebuah surat yang diberi nama “surat wanita”
(surat Al-Nisa’) yang terdiri dari 176 ayat. Disamping itu terdapat ayat-ayat
yang terdapat dalam surat lain yang membahas tentang wanita, dari yang
obyektif-subyektif dan yang positif-negatif.
Wanita pada zaman jahiliyah diperdagangkan dan
dijadikan budak serta dijadikan pemuas nafsu seksual. Mereka dianggap barang
yang najis dan membawa malapetaka. Bahkan ada sebuah kitab hasil karya manusia
yang dianggap “kitab suci”, menjelaskan bahwa ada bebrapa Nabi yang tergoda
untuk berstubuh dengan anak kandungnya sendiri. Juga dikisahkan ada seseorang
yang menyuruh istrinya berzina dengan penguasa, untuk menjaga keselamtan
suaminya.
Di zaman yang serba modern ini, pelecehan terhadap
wanita dikemas begitu indahnya berupa bebrapa paket yang ditawarkan lewat media
cetak dan elektronika. Mereka menggunakan assesoris yang sangat gemerlap,
padahal pada dasarnya mereka dieksploitasi oleh kelompok tertentu atau
mucikari dari kelas menengah sampai
kelas atas. Modernisasi yang disertai westernisasi yang merambah ke
seluruh penjuru dunia bisa mengikis budaya-budaya lokal, bahkan telah
menciptakan suatu tatanan baru yang lebih menjurus pada faham materialisme dan
kebebasab seks.
Rasulullah SAW
bersabda, “Surga berada ditelapak kaki ibu”. Dalam pengertian lain bahwa
wanita merupakan sumber daya manusia yang potensial untuk melahirkan surga
(kesejahteraan). Kalau sember daya ini diporak-porandakan lewat kemasan yang
baik dan bertujuan untuk kepentingan tertentu, maka kaum wanita bukan lagi
memiliki surga di telapak kakinya melainkan neraka.[1]
Makalah ini akan
menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan wanita karir dan bagaimana hukum
ihdadnya menurut para ulama. Semoga dapat menambah ilmu yang bermanfaat kepada
kita semua.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud wanita karir ?
2.
Apa
pengertian ihdad ?
3.
Apa
hukum ihdad wanita karir ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
apa yang dimaksud wanita karir.
2.
Mengetahui
pengertian ihdad.
3.
Mengetahui
hukum ihdad wanita karir.
D.
Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data
dalam menyusun makalah ini yaitu menggunakan penelusuran pustaka (Library Research).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian wanita karir
Begitu
terbuka kesempatan-kesempatan bagi wanita untuk ikut aktif berperan dalam
masyarakat, menimbulkan berbagai masalah. Kepadanya dihadapkan beberapa
pernyataan. Apakah ia hanya akan menjadi ibu dari anak-anaknya saja, atau
menjadi isteri dari suaminya, atau ikut dalam kegiatan organisasi
kemasyarakatan (profesional) secara penuh, atau membagi kegiatan itu secara
berimbang.
Pada
umumnya, motivasi bekerja atau mengadakan kegiatan diluar rumah tangga, bukanlah
semata-mata mencari penghasilan, tetapi ada tujuan-tujuan lainya. Seperti
ingin: ingin maju, ingin mendapat pengetahuan, ingin mendapat tempat dalam
masyarakat dan karena motivasi lainnya, yang pada intinya ingin memuaskan
dirinya.
Dalam
mewujudkan keinginan itu, tidak selamanya berjalan mulus sesuai dengan yang
diharapkan. Ada masalah yang muncul dalam meneliti marier yang sebelumnya tidak
terbayangkan.
Sebagai
wanita yang aktif diluar rumah tangga, seperti aktif diorganisasi, perusahaan,
pegawai negeri dan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, kurang memahami
tugas pokoknya dan bahkan ada yang melupakannya sama sekali dengan alasan,
bahwa mengurus dapur dan rumah tangga tidak begitu penting, karena dapat
ditanggulangi dan diatasi oleh pembantu.
Maria
Ulfah Subadio, S.H. melihat ada empat golongan wanita dalam masyarakat, yaitu:
1. Ada
wanita yang punya bekal dan cita-cita luhur, sehingga ia memberikan seluruh
pengabdiannya, ia memilih untuk tidak berumah tangga ( tetap single).
2. Ada
wanita yang sudah merasa bahagia dengan memberikan pengabdiannya kepada
keluarganya, jadi 100% menjadi ibu rumah tangga.
3. Ada
wanita-wanita yang cakap yang mungkin juga karena ambisinya, rela memberikan
prioritas kepada pekerjaannya diatas
keluarganya. Ini dapat menimbulkan konsekuensi perceraian.
4. Ada
wanita yang memilih jalan tengah, karena ia bekerja, maka menerima peranan
rangkapnya dengan mencoba mengadakan kombinasi yang sebaik-baiknya. Wanita ini
harus mengerti apa yang enghambat suksesnya dalam pekerjaan, akan tetapi rela
karena kesadarannya, bahwa baginya keluarga adalah penting juga.
Bagi wanita-wanita yang
memilih jalan hidup tidak berumah tangga, tidak dibicarakan dalam tulisan ini.
Masalah yang memerlukan telaahan adalah wanita yang berfungsi gand, yaitu
wanita sebagai ibu rumah tangga, sebagai isteri dan sebagai wanita karier.
Apa sebenarnya yang
mendorong wanita itu berkarier? Oleh Lewis dikatakan dalam buku “ Devoloping
Women’s Potential”, yang dikutip oleh Utami Munandar, bahwa ada beberapa
kondisi yang mengubah status dan peran wanita, antara lain:
a. Perkembangan
di sektor industri. Karena kenaikan kegiatan di sektor industri, menjadi
penyerapan besar-besaran terhadap tenaga kerja. Karena kekurangan tenaga kerja,
banyak tenaga kerja diperbantukan, terutama pada pekerjan yang tidak
membutuhkan tenaga, pikiran.
b. Di
dunia maju, kondisi kerja yang baik serta waktu kerja yang baik/singkat
memungkinkan para wanita pekerja dapat membagi tanggung jawab pekerjaan dengan
baik
c. Kemajuan
wanita di sektor pendidikan. Dengan semakin luasnya kesempatan bgi wanita untuk
menuntut ilmu, banyak wanita terdidik tidak lagi merasa puas bila hanya
menjalankan peranannya dirumah saja. Mereka butuh kesempatan untuk berprestasi
dan mewujudkan kemampuan dirinya sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang
telah dipelajarinya.
d. Perubahan
yang terjadi dikehidupan masyarakat tani desa menjadi masyarakat kota modern.
Keadaan sosial ekonomi yang kurang baik didaerah pedesaan menjadi alasan utama
masyarakat desa mengadu nasib dikota. Kehidupan yang sulit inilah yang juga
membuat kaum wanita tidak dapat berpangku tangan saja dirumah. Mereka tergugah
untuk bertanggug jawab atas kelanjutan hidup keluarga dan karena itu lalu
mereka bekerja.
Kalau kita
melihat kepada uraian diatas, maka peranan wanita sebagai ibu rumah tangga
sebenarnya sudah cukup menyita waktu, ditambah lagi sebagai isteri pendamping
suami.
Dengan demikian,
apabila ada wanita yang menjadi wanita karier, seperti senima, artis,
pengusaha, pegawai dan pemeran dalam berbagai kegiatan lainnya, maka seyogyanya
mempertimbangkan tugas pokok yang harus diemban, yaitu sebagai ibu rumah
tangga, tanpa mengecilkan arti kegiatan yang dilakukan diluar rumah tangga.
Kegiatan apa pun diluar rumah tangga boleh dilakukan, asal jangan melupakan
kodratnya sebagai wanita, sebab tugas ibu dan isteri tidak dapat digantikan
oleh pembantu, terutama menyangkut dengan masalah pendidikan dan perhatian
terhadap anak.
Peluang untuk
wanita bertugas diluar rumah tangga cukup banyak. Bila sudah banyak wanita yang
meninggalkan posnya (markasnya) sebagai ibu rumah tangga, maka lebih banyak
lagi anak-anak yang kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.
Sebagai akibatnya, anak-anak menjadi nakal dan mencari perhatian di dalam
masyarakat dengan membuat kegaduhan dan tingkah laku yang menggelisahka
masyarakat setempat.[2]
Al-Qur’an, dalam
memberikan pengistilahan kepada perempuan menggunakan tiga kata yang berbeda
bila dilihat dari aspek tekstual, tetapi bila dilihat dari aspek konstektual
relatif sama. Kata “ ا لمراة“ dan “ ا لنسا “
berarti perempuan yang telah dewasa atau istri, sedang “لا نثي ا“ berarti
perempuan secara umum (al-Asfahani).[3]
Perbedaan tekstual dalam pengistilahan ini tidak sampai merusak substansi
konstektual dalam spektrum keperempuanan secara utuh, tetapi mencoba
mengakomudir nilai-nilai esensial, sakral, dan kultural yang dimiliki oleh
permpuan.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata wanita adalah perempuan dewasa. Perempuan yang masih
kecil untuk anak-anak tidak termasuk dalam wanita. Kata karier mempunyai dua
pengertian: pertama, karier berarti pengembangan dan kemajuan dalam
kehidupan, pekerjaan, dan sebagainya; kedua, karier berarti juga
pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Ketika kata “ wanita” dan
“karier” disatukan, maka kata itu berarti wanita yang berkecinampung dalam
kegiatan profesi dan dilandasi keahlian pendidikan tertentu.[4]
B.
Pengertian
Ihdad
Menurut Abu Yahya Zakaria
al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan kadang-kadang
bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara
etimologis (lighawi) ihdad berarti al-man’u (cegahan atau
larangan). Adapun pendapat ulama yang lain sebagai
berikut:
1.
Abdul Mujeib dkk, ihdad
adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya. Maka
tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai dengan larangan-larangannya, antara
lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan
terpaksa.
2.
Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi. Ihdad
adalah menahan diri dari bersolek atau berhias pada badan.
3.
Wahbah al-zuhaili. Ihdad ialah
meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak yang mengharumkan
maupun yang tidak. Tetapi tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet,
gorden, dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas
kain sutera.
Sedangkan Pengertian Syarak,
“ihdad
ialah meninggalkan pemakaian pakaian yang di celup warna yang dimaksudkan untuk
perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut ditenun,
atau kain itu menjadi kasar/ kesat (setelah dicelup)”.
Demikian sebagian pendapat-pendapat tentang pengertian ihdad dan banyak
lagi pengertian lainnya yang pada intinya sama yaitu meninggalkan berdandan
atau berhias diri.[5]
C.
Hukum Ihdad
Wanita Karir
Zainab binti Abu Salamah berkata,
aku masuk kerumah Ummu Habibah, Isteri Nabi saw ketika ayahnya, Abu Sufyan bin
Harb mennggal dunia. Lalu Ummu Habibah meminta minyak wangi berwarna kuning,
lalu menyuruh budaknya untuk mengoleskan minyak wangi pada ayahnya itu.
Kemudian budak itu mengoleskan pada jambangnya. Dan selanjutnya ia berkata,
“Demi Allah, bukan karena aku sudah tidak mempunyai hasrat pada wangi-wangian,
hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, yang artinya “Tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu
suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari”.
Zainab berkata, kemudian aku masuk
menemui Zainab binti Jahsy ketika saudaranya meninggal dunia. Ia juga minta
diambilakan minyak wangi dan dikenakan pada badannya lalu berkata “Aku
sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak halal bagi
seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap
mayat lebih dari tiga hari. Kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia
berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”
Zainab melanjutkan penjelasannya,
“Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, berkata, ‘Datang
seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata,
‘Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku
mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak pada
matanya?’ ‘Tidak,’ jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua
atau tiga kali. Setelahnya beliau bersabda: “Masa ihdad itu hanyalah empat
bulan sepuluh hari. Adapun dulu di masa jahiliah salah seorang wanita dari
kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun”.
Iddah menurut
para ulama hukumnya wajib. Selama ihdad tidak diperbolehkan perhiasan,
wangi-wangian, celak dan lain-lain yang ada unsur untuk memperindah diri.
1. Ihdad Bagi
Istri Yang Ditinggal Suami
Berihdad
atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh
hari, sama dengan masa iddahnya. Sebagaimana firman Allah swt “Orang-orang yang
meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri maka hendaklah
para istri tersebut menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh
hari….” (Al-Baqarah: 234)
2.
Tidak ada
Ihdad Bagi Ummu Walad
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi
ummul walad (budak perempuan yang telah melahirkan anak untuk tuannya), tidak
pula bagi budak perempuan yang tuannya meninggal. Karena mereka tidak berstatus
istri dan si mayat bukan suami mereka.
3. Ihdad Bagi
Wanita yang Di-Talak
Sedangkan
dalam kitab Syarh as-Sunnah. Jika ia dijatuhi talak Raj’i, maka tidak
ada kewajiban baginya, tetapi hendaknya ia berbuat apa yang menjadi
kecenderungan hati suaminya supaya suaminya mau kembali lagi padanya. Sedangkan
yang di jatuhi talak ba’in, maka terdapat dua pendapat, yaitu Pertama,
ia wajib ber-ihdad sebagaimana halnya wanita yang ditinggal suaminya. Hal ini
di pegang oleh Abu Hanifah. Kedua, tidak ada kewajiban berihdad karena
ihdad itu dilakukan karena kematian dan tidak untuk yang lainnya. Ihdad untuk
selain kematian suami ini sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh kaum wanita
pada masa Nabi saw dan masa khulafa’urrrasyidin.
4. Tidak ada
ihdad bagi wanita karier
Ihdad bagi fuqaha adalah sebagai ibadah maka
diwajibkan atas wanita musliman dantidak wajib bagi wanita karier menurut
al-Qadhi (Ibnu Rusyd).
Hadits Nabi saw “seorang wanita tidak boleh
berihdad karena kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kemtian suami,
maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Janganlah wanita itu memakai
pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan celak mata, dan
memakai harum-haruman, janganlah memakai inai dan menyisir rambutkecuali jika
ia baru saja suci dari menstruasi, maka ia bolehlah mengambil sepotong kayu
wangi.”
1. Tidak Boleh
Bercelak secara Mutlak
Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha yang artinya “Datang seorang wanita menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami
putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada
matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no.
5336 dan Muslim no. 3709)
Dan diperbolehkan memakai delak pada malam hari sebagaimana hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu Salamah wafat
sementara aku memakai shabr (jenis celak) pada kedua mataku. Beliau bertanya,
“Apa yang kau pakai pada matamu, wahai Ummu Salamah?” “Ini cuma shabr, wahai
Rasulullah, tidak mengandung wewangian,” jawabku. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Shabr itu membuat warna wajah bercahaya/menyala,
maka jangan engkau memakainya kecuali pada waktu malam dan hilangkan di waktu
siang. Jangan menyisir (mengolesi) rambutmu dengan minyak wangi dan jangan pula
memakai hina` (inai/daun pacar) karena hina` itu (berfungsi) sebagai semir
(mewarnai rambut dan kuku, –pent.).” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu dengan
apa aku meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Daun sidr
dapat engkau pakai untuk memolesi rambutmu.” (HR. Abu Dawud no. 2305)
2. Tidak Boleh Berwangi-wangian
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Dari ucapan Ummu ‘Athiyyah,
‘Kami tidak boleh memakai wewangian’ menunjukkan haramnya minyak wangi bagi
wanita yang sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala yang
dinamakan wewangian dan tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.”
3. Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan
Bersolek
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat kebiasaan)
setiap zaman dan tempat. Sehingga tidak bisa diberi ketentuan pakaian yang
bentuknya bagaimana dan penampilan bagaimana yang teranggap berhias. (Taisirul
‘Allam, 2/354)
4. Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik
/ Dicelup agar Menjadi Indah
Bila dikatakan, “Ini pakaian biasa”, berarti tidak wajib untuk
ditinggalkan, boleh dikenakan selama ihdad, walaupun pakaian tersebut memiliki
model atau berwarna/bercorak. Tapi bila dikatakan, “Ini pakaian untuk berhias”,
berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian tersebut meliputi seluruh
tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya seperti celana panjang, rok, syal,
dan sebagainya.
5. Tidak Boleh Memakai Perhiasan
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Wanita yang sedang berihdad karena
kematian suaminya tidak boleh mengenakan perhiasan sedikitpun baik berupa
cincin, gelang kaki atau yang selainnya.” (Al-Muwaththa`, 2/599)
Bila si wanita dalam keadaan berperhiasan saat suaminya meninggal dunia
maka ia harus melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting. Adapun bila ia
memakai gigi emas (gigi palsu dari emas) dan tidak mungkin dilepaskan maka
tidak wajib baginya melepasnya, namun ia upayakan untuk menyembunyikannya.
6. Berdiam di Rumahnya
Dalam Majmu’ Fatawa (17/159), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk tidak berhias dan memakai
wewangian pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam dalam rumahnya, tidak
boleh keluar di siang hari kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di
waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh
mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.
[1] Abdullah A.
Djawas, Dilema Wanita Karier (menuju keluarga sakinah), Ababil, 1996,
Hlm. 9
[2] M. Ali Hasan, Masail
Fiqhiyah Al Hadis Pada Masalah-masalah kontemporer hukum Islam, Jakarta:
Grafindo Persada, 2000, h 192-194
[3] Drs. Hamid Laonso, M. Ag. M. Pd dan Drs. Muhammad Jamil, M.Pd, (Hukum Islam Alternatif Solus Terhadap Masalah Fiqih Kontemporer), Restu
Ilahi, 2005, Hlm. 77
[4] Ajat Sudrajat,
(Fikih Aktual Membahas Problematika Hukum Islam Kontemporer), Stain
Ponorogo Press, 2008, Hlm. 103
Masailul Fiqh Tentang Ihdah Wanita Karier
4/
5
Oleh
Unknown