BAB II
PEMBAHASAN
1.
Anak zina
a.
Pengertian
Zina
menurut Jurjani adalah memasukkan penis (zakr = bahasa Arab) kedalam vagina
bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau
kekeliruan). Dari pengertian ini bisa dipahami bahwa perbuatan zina jika ada
dua unsure yaitu: a) ada persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis
kelaminnya, b) tidak ada keserupaan atau kekeliruan dalam perbuatan seks.[1]
Anak
zina adalah anak yang lahir dari hubungan tanpa pernikahan. Karena dilahirkan
diluar pernikahan yang sah biasa juga disebut dengan anak haram.[2]
Anak zina menurut pandangan Islam adalah suci dari segala dosa, karena
kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut tetapi kepada kedua
orang tuanya yang tidak syah menurut hukum. Didalam surat an-Najm ayat 38 Allah
telah berfirman:
wr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé&
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain”
Tanggung
jawab mengenai segala keperluan anak itu, baik materiil maupun spiritual adalah
ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab, anak zina hanya mempunyai
nasab dengan ibunya saja. Demikian juga halnya dengan hak waris, sebagaimana
yang dinyatakan dalam sebuah hadits;
عن ابن عمر ان رجلا لاعن امرأته في زمن النبي ص م وانتفى من ولدها
ففرق النبي بينهما الولد بالمرأة
“Dari
Ibn Umar bahwa seorang laki-laki telah meli’an istrinya dizaman Nabi Muhammad
SAW dan dia tidak mengakui anak istrinya (sebagai anaknya), maka Nabi
menceraikan antara keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada istrinya” (HR
Bukhari san Abu Dawud)
b.
Kedudukan Anak Zina
Kedudukan
hukum bagi anak zina tidak bernasab pada laki-laki yang melakukan zina terhadap
ibunya. Ia mengikuti nasab kepada ibu yang melahirkannya, maka hal ini
berakibat pula hilangnya kewajiban/tanggung jawab ayah kepada anak dan hilang
hak anak kepada ayahnya. Antara keduanya adalah sebagai orang lain (ajnabiy).
Secara nyata akibat yang diterima oleh anak adalah:
Ø Hilangnya
martabat muhrim dalam keluarga. Bila anak itu wanita maka antara bapak dengan
anak itu dibolehkan menikah,
Ø Hilangnya
kewarisan anak dengan bapaknya. Hal ini dikarenakan anak zina tidak mempunyai
hubungan kekerabatan dengan bapaknya.[3]
Dalam hukum
Islam anak tersebut tetap dianggap sebagai anak yang tidak sah dan berakibat;
1) tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang mencampuri ibunya, 2) tidak
ada saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya waris mewarisi dengan ibunya
saja, 3) tidak dapat menjadi wali bagi anak perempuan karena dia lahir akibat
hubunngan diluar nikah.
Sayid
Sabiq dalam Fiqh Sunnah dengan tegas mengatakan bahwa zina itu termasuk tindak
pidana, dengan alasan-alasan;
·
Zina dapat menghilangkan nasab (keturunan) dan dengan sendirinya
menyia-nyiakan harta warisan ketika orang tuanya(tidak sah) meninggal dunia,
·
Zina dapat menularkan penyakit yang berbahaya bagi orang yang
melakukannya sperti penyakit kelamin dan sebagainya,
·
Zina merupakan salah satu sebab terjadinya pembunuhan,
·
Zina dapat menghancurkan keutuhan rumah tangga dan meruntuhkan
eksistensinya, bahkan lebih dari itu dapat memutuskan hubungan keluarga.
Mengenai status
anak zina ada tiga pendapat, yakni;
a)
Menurut Imam malik dan Syafi’I, anak zina yang lahir setelah enam
bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya,
b)
Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada
ibunya karena diduga ibunya itu telah melakukan hubungan seks dengan orang
lain. Sedangkan batas waktu hamil paling kurang enam bulan,
c)
Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami
ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangan waktu masa kehamilan si ibu.[4]
2.
Anak Hasil Inseminasi (Anak Tabung)
a.
Pengertian
Kata
inseminasi berasal dari bahasa Inggris “insemination” yang artinya
pembuahan atau penghamilan secara teknologi bukan secara ilmiah. Dalam
bahasa Arab diistilahkan dengan التلقيح dari
kata kerja لقَّح – يلقِّح yang
artinya mengawinkan atau mempertemukan. Inseminasi terbagi menjadi dua: a) Inseminasi
alamiah yaitu pembuahan dengan cara hubungan badan antara dua jenis makhluk
biologis, b) Inseminasi buatan yaitu penghamilan buatan yang dilakukan
terhadap seorang wanita tanpa melalui cara alami, melainkan dengan cara
memasukkan sperma laki-laki kedalam rahim wanita dengan pertolongan dokter.
Istilah lain yang semakna adalah kawin suntik.[5]
Sedangkan
bayi tabung yaitu sel telur yang telah dibuahi oleh sperma yang telah dibiakkan
dalam tempat pembiakkan (cawan) yang sudah siap untuk diletakkan ke dalam rahim
seorang ibu.[6]
b.
Hukum Inseminasi
Upaya
inseminasi buatan dan bayi tabung dibolehkan dalam Islam manakala perpaduan
sperma dan ovum itu bersumber dari suami-istri yang sah (Inseminasi Homolog)
bisa juga disebut Artificial Insemination Husband (AIH). Dan yang
dilarang adalah inseminasi buatan dan bayi tabung yang berasal dari perpaduan
sperma dan ovum dari orang lain (Inseminasi Heterolog) bisa juga disebut Artificial
Insemination Donor (AID).[7]
Diantara
Ulama yang membolehkan inseminasi adalah Mahmud Syaltut, bahwa bila penghamilan
tersebut menggunakan air mani suaminya. Lebih lanjut beliau mengatakan …”dan
tidak menimbulkkan dosa dan noda”. Disamping itu tindakan yang demikian
dijadikan sebagai suatu cara untuk memperoleh anak yang syah menurut syari’at
yang jelas ibu bapaknya. Alasan lain dibolehkan inseminasi buatan dengan sperma
suami sendiri karena berhubung ada kelainan perangkat dalam istri maupun suami.
Jadi
prinsip dibolehkannya inseminasi itu bila keadaannya benar-benar memaksa
pasangan itu untuk melakukannya dan bila tidak akan mengancam keutuhan rumah
tangga (terjadi perceraian) sesuai dengan kaidah Ushul
الحاجة
تنزل منزلة الضرورة
“Hajat itu (keperluan yang sangat penting)
diberlakukan seperti keadaan darurat”[8]
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa ''Bayi tabung dengan
sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab,
ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.''[9]
Sedangkan
hasil inseminasi dengan bantuan donor sperma dan ovum maka diharamkan dan
hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya anak hasil inseminasi itu
tidak syah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibunya yang melahirkan. Dalil
yang dapat dijadikan landasan menetapkan haramnya inseminasi dengan donor
ialah:
Pertama firman Allah surat al-Israa’ ayat 70
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPy#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur ÆÏiB ÏM»t7Íh©Ü9$# óOßg»uZù=Òsùur 4n?tã 9ÏV2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxÅÒøÿs?
“Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan sehingga melebihi makhluk-makhluk Allah lainnya. Allah
sendiri berkenaan memuliakan manusia maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan
donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat martabat manusia sejajar
dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedua,
hadits Nabi yang mengatakan “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri
orang lain).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan dipandang Shahih oleh Ibnu
Hibban).
Berdasarkan
hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan
seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda
pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah
boleh, asalkkan tidak melakukan senggama sebelum kandungan lahir. Sedangkan
Zufar tidak membolehkan.
Hadits
ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi dengan donor
sperma atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air
hujan atau air secara umum.
Dalil
lain untuk syarat kehalalan inseminasi bagi manusia harus berasal dari sperma
atau ovum pasangan yang sah menurut syari’at adalah kaidah
درع
المفسدة مقدم علي جلب المصلحة
“Menghindari mafsadah atau mudharat
harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah”.
Adapun
mengenai status anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut
hokum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan hasil anak prostitusi
atau zina. Kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1
tahun 1974 “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil
inseminasi dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau
kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan, terlihat bagaimana peranan
agama cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berrkaitan dengan perkawinan.
Dan lagi, Negara kita tidak menigzinkan inseminasi dengan donor sperma atau
ovum karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.[10]
DAFTAR PUSTAKA
-
Dr. Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer, Gema Insani, Jakarta 2003.
-
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiya al-Haditsiah pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000.
-
Drs. H. Mahjuddin MPd, Masailul Fiqhiyah, Kalam Mulia,
Jakarta 2005
-
Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo MA, Masail Fiqhiyyah,
Kajian Hukum Islam Kontemporer, Angkasa Bandung, Bandung 2005.
[1] M. Ali Hasan, Masail
Fiqhiya al-Haditsiah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2000.
[2] Prof. Dr. Hj. Huzaimah
Tahido Yanggo MA, Masail Fiqhiyyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer,
Angkasa Bandung, Bandung 2005.
[3] Ibid 180.
[4] M. Ali Hasan, Masail
Fiqhiya al-Haditsiah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2000.
[5] M. Ali Hasan, Masail
Fiqhiya al-Haditsiah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2000.
[6] Drs. H. Mahjuddin MPd, Masailul
Fiqhiyah, Kalam Mulia, Jakarta 2005
[7] Ibid hal 05
[8] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiya al-Haditsiah pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000.
[9] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/11/06/md1vz6-hukum-bayi-tabung-1
[10] Dr. Setiawan Budi Utomo, Fiqh
Aktual jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Gema Insani, Jakarta 2003.
Masailul Fiqh Tentang Anak Zina dan Bayi Tabung
4/
5
Oleh
Unknown