Pengertian zakat profesi
Di dalam kamus Bahasa Indonesia (1989 : 702) disebutkan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pndidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Profesiaonal adalah yang bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Sedangkan menurut Fachrudin (1996 :23) Profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, baik melalui suatu keahlian tertentu atau tidak.
Dengan demikian, dari definisi tersebut diatas maka diperoleh rumusan bahwa zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu. Dari definisi diatas jelas ada point-point yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan pekerjaan yang dimaksud, yaitu :
Di dalam kamus Bahasa Indonesia (1989 : 702) disebutkan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pndidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Profesiaonal adalah yang bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Sedangkan menurut Fachrudin (1996 :23) Profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, baik melalui suatu keahlian tertentu atau tidak.
Dengan demikian, dari definisi tersebut diatas maka diperoleh rumusan bahwa zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu. Dari definisi diatas jelas ada point-point yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan pekerjaan yang dimaksud, yaitu :
a. Jenis
usaha halal;
b. Menghasilkan
uang relatif banyak;
c. Diperoleh
dengan cara yang mudah;
d. Melalui
keahlian tertentu.
Sehingga dari kriteria tersebut dapat diuraikan jenis-jenis usaha yang berhubungan dengan seseorang. Apabila di tinjau dari bentuknya, usaha profesi tersebut bisa berupa :
Sehingga dari kriteria tersebut dapat diuraikan jenis-jenis usaha yang berhubungan dengan seseorang. Apabila di tinjau dari bentuknya, usaha profesi tersebut bisa berupa :
a. Usaha
fisik, seperti pegawai dan artis
b. Usaha
fikiran, seperti konsultan, desainer dan dokter.
c. Usaha
kedudukan, seperti komisi dan tunjangan jabatan
d. Usaha
modal, seperti investasi.
Sedangkan apabila di tinjau dari hasil usahanya
profesi itu bisa berupa :
a. Hasil
yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari; seperti upah
pekerja dan gaji pegawai.
b. Hasil
yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti; seperti kontraktor
, pengacara, royalti pengarang, konsultan dan artis.[1]
Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum islam). Aq-qur’an dan as-sunah tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi. Begitu juga imam mujtahid seperti Abu Hanafiah, Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Ahmad Abu Hambal belum secara spesifik mengurai dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi. Hal ini disebabkan terbatasnya jenis –jenis usaha atau pekerjaan masyarakat pada masa Nabi Muhammad SAW dan pada masa-masa Imam mujtahid berikutnya.
Sedangkan kita semua tahu bahwa hukum islam adalah refleksi dari peristiwa hukum yang terjadi ketika hukum itu diterapkan. Sebagaimana ketentuan dalam ushul fiqh bahwa hukum islam selalu cocok dan bisa menjawab segala tantangan zaman dan permasalahan yang terjadi di sepanjang masa.
Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa atau yang disebut dengan profesi ini pada masa nabi dan imam-imam mujtahid masa lalu, menjadikan zakat profesi nyaris tidak ada satu pun fiqh klasik yang membahasnya. Oleh sebab itu sangatlah wajar apabila sekarang terjadi kontroversi dan perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini.
Karena zakat profesi tidak di singgung dalam al-qur’an dan hadist, maka beberapa ulama mazhab berpendapat dalam dalam menentukan hal itu. hanya mazhab hanafi yang mengatakan secara tegas, zakat profesi diakui ada dan diwajibkan bagi seluruh muslim. Sedangkan mazhab Syafi’i yang menjadi mazhab sebagian besar umat islam di negara Asia Tenggara malah tidak mengaturnya sama sekali.
Meskipun mazhab syafi’i tidak mengatur mengenai kewajiban zakat profesi, namun cukup banyak ulama yang mendukung di wajibkan zakat profesi bagi muslim.[2]
Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum islam). Aq-qur’an dan as-sunah tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi. Begitu juga imam mujtahid seperti Abu Hanafiah, Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Ahmad Abu Hambal belum secara spesifik mengurai dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi. Hal ini disebabkan terbatasnya jenis –jenis usaha atau pekerjaan masyarakat pada masa Nabi Muhammad SAW dan pada masa-masa Imam mujtahid berikutnya.
Sedangkan kita semua tahu bahwa hukum islam adalah refleksi dari peristiwa hukum yang terjadi ketika hukum itu diterapkan. Sebagaimana ketentuan dalam ushul fiqh bahwa hukum islam selalu cocok dan bisa menjawab segala tantangan zaman dan permasalahan yang terjadi di sepanjang masa.
Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa atau yang disebut dengan profesi ini pada masa nabi dan imam-imam mujtahid masa lalu, menjadikan zakat profesi nyaris tidak ada satu pun fiqh klasik yang membahasnya. Oleh sebab itu sangatlah wajar apabila sekarang terjadi kontroversi dan perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini.
Karena zakat profesi tidak di singgung dalam al-qur’an dan hadist, maka beberapa ulama mazhab berpendapat dalam dalam menentukan hal itu. hanya mazhab hanafi yang mengatakan secara tegas, zakat profesi diakui ada dan diwajibkan bagi seluruh muslim. Sedangkan mazhab Syafi’i yang menjadi mazhab sebagian besar umat islam di negara Asia Tenggara malah tidak mengaturnya sama sekali.
Meskipun mazhab syafi’i tidak mengatur mengenai kewajiban zakat profesi, namun cukup banyak ulama yang mendukung di wajibkan zakat profesi bagi muslim.[2]
Yusuf
Qaradhawi misalnya, ia menyatakan bahwa diantara kalian yang sangat penting untuk
mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan
yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukannya secara
sendiri maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan sendiri, misalnya profesi
dokter, arsitek, ahli hukum, penjahit, pelukis, mungkin juga da’i atau
muballigh, dan lain sebagainya. Yang dilakukan secara bersama-sama misalnya
pegawai (pemerintah maupun swasta)
dengan menggunakan sistem upah dan gaji.
Wahbah al
-Zuhaili secara khusus mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan yang
diterima seseorang melalui usaha sendiri( wirausaha) seperti dokter, insinyur,
ahli hukum, penjahit dan sebagainya. Dan juga yang terkait dengan pemerintahan
(pegawai negeri) atau pegawai swasta yang mendapatkan gaji atau upah dalam
waktu yang relatif tetap. Seperti sebulan sekali. Penghasilan atau pendapatan
yang semacam ini dalam istilah fiqh dikatakan sebagai al-maal al-mustafaad.
Sementara
itu, fatwa ulama yang dihasilkan pada waktu muktamar internasional pertama
tentang zakat kuwait pada tanggal 30 appril 1984 bahwa salah satu kegiatan
menghasilkan kekuatan bagi manusia sekarang adalah kegiatan profesi yang
menghasilkan amal yang bermanfaat, baik yang dilakukan sendiri, seperti
kegiatan dokter, arsitek dan yang lainnya, maupun yang dilakukan secara
bersama-sama, seperti para karyawan atau para pegawai. Semua itu menghasilkan
pendapatan atau gaji.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa bahwa zakat penghasilan yang
menjadi landasan zakat profesi beberapa tahun lalu wajib.
2.
Landasan Hukum Kewajiban Zakat Profesi
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut apabila telah mencapai nissab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum, misalnya firman Allah SWT dalam surah At- Taubah: 103 yang Artinya :
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut apabila telah mencapai nissab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum, misalnya firman Allah SWT dalam surah At- Taubah: 103 yang Artinya :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Al Baqarah : 267
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di
jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Sayyid Qurtub dalam tafsirnya Fi Zhilalil
Qur’an ketika menafsirkan firman Allah dalam surah Al-baqarah ayat 267
menyatakan, bahwa nash itu mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan
halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas
bumi, seperti hasil-hasil pertanian, maupun hasil pertambangan seperti minyak.
Karena itu nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman
Rasulullah saw, maupun di zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya
dengan ketentuan dan kadar sebagaimana yang diterangkan dalam sunah Rasulullah
saw, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang di qiyaskan
kepadanya. Al-Qurtubi dalam tafsir Al-Jaami’ li ahkaam Al-Qur’an mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan kata –kata hakkun ma’lu (hak yang pasti) pada
surah Adz- Dzariyaat : 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta
yang dimiliki dan semua penghasilan yang di dapatkan, jika telah memenuhi
persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya.
Sementara itu, kesepakatan dari para peserta
Muktamar Internasional tentang zakat di kuwait ini mengatakan bahwa telah
sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nisab. Kesimpulan
diatas antara lain berdasarkan :
Pertama,
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk
dikeluarkan zakatnya.
Kedua,
berbagai pendapat para ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan
menggunakan istilah yang berbeda. Sebagian dengan menggunakan istilah yang
bersifat umum yaitu al-amwaal, sementara sebagian lagi secara khusus memberikan
istilah dengan istilah al-maad al-mustafaad seperti terdapat dalam Fiqh
Al-Islamy wa’ Adillatuhu.
Ketiga, dari
sudut keadilan yang merupakan ciri utama ajaran islam sampai penetapan
kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangan jelas,
dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas
tertentu saja yang konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum
kurang beruntung, tetapi harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai
nisab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat inipun bersifat wajib bagi
bagi penghasil yang didapat para dokter, ahli hukum, konsultan dalam berbagai
bidang, para dosen, para pegawai dn karyawan yang memiliki gaji tinggi, dan
profesi lainnya.
Keempat,
sejalan dengan perkembangan kehidupan umad manusia, khususnya dalam bidang
ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang
dari waktu ke waktu. Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti
tejadi di negara-negara industri sekarang ini. Penetapan kewajiban zakat
kepadanya menunjukan betapa hukum islam sangat aspiratif dan responsif terhadap
perkembangan zaman. Afif Abdul Fatah Thabari mengatakan bahwa aturan dalam
islam itu bukan saja berdasarkan pada keadilan bagi seluruh umad manusia, akan
tetapi sejalan dengan kemaslahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman
dan keadaan, walaupun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu.
3.
Nisab, Waktu, Kadar, dan Cara Mengeluarkan
Zakat Profesi
Terdapat
beberapa kemungkinan kesimpulan dalam menentukan nisab, kadar dan waktu
mengeluarkan zakat profesi. Hal ini sangat bergantung pada qiyas yang
dilakukan.
Pertama
jika dianalogikan pada zakat
perdagangan, maka nisab, kadar, dan waktu mengeluarkan sama dengannya dan sama
pula dengan zakat emas, dan perak. Nisabnya senilai 85 gram emas, kadar
zakatnya 2,5 persen dan waktu pengeluarannya setahun sekali, setelah dikurangi
kebutuhan pokok.
Contoh jika
di A berpenghasilan Rp 5.000.000.00 setiap bulan dan kebutuhan pokoknya
perbulan sebesar Rp 3.000.000.00 maka
besar zakat yang dikeluarkan adalah : 2,5 % x12 x Rp 2.000.000.00 atau sebesar
Rp 600.000.00 pertahun/ Rp 50.000.00 per bulan.
Kedua, jika
dianalogikakan pada zakat pertanian, maka nisabnya senilai 653 kg padi atau
gandum, kadar zakatnya sebesar 5% dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji
atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh kasus diatas, maka
kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000.00 atau sebesar Rp 1.200.000.00 per tahun/ Rp 100.000.00 per
bulan.
Ketiga, jika
dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesarnya 20 % tanpa ada nishab,
dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Pada contoh diatas, maka si A mempunyai
kewajiban berzakat sebesar 20 % x 5.000.000.00 atau sebesar Rp 1.000.000.00
perbulan.
Zakat
profesi bisa dianalogikan pada dua hal sekaligus, yaitu pada zakat pertanian
dan padda zakat emas dan perak. Dari sudut nishab dianalogikan pada zakat
pertanian, yaitu sebesar 5 ausaq atau senilai 653 kg padi/ gandum dan dikeluarkan
saat menerimanya. Misalnya setiap bulan bagi karyawan yang menerima gaji
bulanan langsung dikeluarkan zakatnya, sama seperti zakat pertanian yang
dikeluarkan pada saat panen, sebagaimana yang digambarkan Allah SWT dalam surah
al-An’am :141
*
uqèdur
üÏ%©!$# r't±Sr&
;M»¨Yy_ ;M»x©rá÷è¨B uöxîur
;M»x©râ÷êtB
@÷¨Z9$#ur tíö¨9$#ur $¸ÿÎ=tFøèC
¼ã&é#à2é&
cqçG÷¨9$#ur c$¨B9$#ur $\kÈ:»t±tFãB uöxîur 7mÎ7»t±tFãB
4 (#qè=à2 `ÏB ÿ¾ÍnÌyJrO
!#sÎ)
tyJøOr& (#qè?#uäur
¼çm¤)ym uQöqt ¾ÍnÏ$|Áym (
wur (#þqèùÎô£è@ 4 ¼çm¯RÎ)
w =Ïtä úüÏùÎô£ßJø9$# ÇÊÍÊÈ
Artinya
:
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang
berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin). Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Karena
dianalogikan pada zakat pertanian, maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan
haul. Ketentuan waktu menyalurkannya adalah pada saat menerima, misalnya setiap
bulan, dapat di dasarkan pada ‘urf (tradisi) disebuah negara. Karena itu
profesi yang menghasilkan pendapatan setiap hari, misalnya dokter yang membuka
praktek sendiri, atau para da’i yang setiap hari berceramah, zakatnya
dikeluarkan sebulan sekali.
Penganalogian
zakat profesi dengan zakat pertanian dilakukan karena ada kemiripan antara
keduanya (al-syabah). Jika hasi panen pada setiap musim berdiri snediri tidak
terkait dengan hasil sebelumnya, demikian pula gajih dan upah yang diterima,
tidak terkait antara penerimaan bulan kesatu dan bulan kedua dan bulan pertama
dan bulan kedua dan seterusnya sampai dengan jangka waktu satu tahun atau tahun
tutup buku.
Dari
sudut kadar zakat, dianalogikan pada zakat uang, karena memang gaji,honorarium,
upah dan lainnya, pada umumnya diterima dalam bentuk uang. Karena itu kadar
zakatnya adalah sebesar rub’ul usyri
atau 2,5 %.
Qiyas
syabah yang digunakan dalam menetapkan kadar dan nishab zakat profesi dan zakat
pertanian dan zakat nuqud (emas dan perak) adalah qiyas yang ilat
hukumnya ditetapkan melalui metode syabah. Contoh qiyas yang illat
hukumnya di tetapkan melalui metode syabah. Contoh qiyas yang dikemukakan oleh
Muhammad al-Amidi adalah sahaya yang dia analogikan pada dua hal yaitu pada
manusia (mafsiyyah) menyerupai orang yang merdeka (al-hur) dan di analogikan
pula pada kuda, karena dimiliki dan dapat diperjual belikan di pasar.
Atas
dasar keterangan tersebut diatas, jika seorang konsultan mendapatkan honorarium
misalnya lima juta rupiah setiap bulan, dan ini sudah mencapai nishab, maka
wajib mengeluarkan zakatnya senilai 2,5 % sebulan sekali. Semisalkan pula
misalnya seorang pegawai perusahaan swasta yang setiap bulannya menerima gaji
sepuluh juta rupiah, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % sebulan
sekali. Sebaliknya, seorang pegawai ayng bergaji satu juta rupiah perbulan dan
ia belum mencapai nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Akan tetapi kepadanya
dianjurkan untuk berinfak dan bersedekah, yang jumlahnya tergantung pada
kemampuan dan keikhlasannya. Hal ini sejalan dengan surah Ali-Imran : 134. [5]
B. Penyaluran
Zakat Untuk Pembangunan Dan Pemugaran Masjid
Sebagaimana yang diketahui, bahwa penyaluran
(sasaran) zakat adalah kepada delapan sasaran (masharif) sebagaimana dinyatakan
dalam al-Qur’an :
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
Artinya :
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Berdasarkan ayat diatas jelas, bahwa zakat itu
wajib diserahkan kepada sasaran (masharif) yang delapan itu. diantara delapan
sasaran itu, Fi Sabilillah (jalan Allah). Yang penafsirannya lebih beragam. Ada
yang memahaminya dengan perhatian yang lebih sempit.
Di dalam tafsir al-Maraghi disebutkan, bahwa
yang dimaksud dengan Fi Sabilillah adalah jalan yang ditempuh menuju
ridha Allah, yaitu orang yang berperang dan petugas-petugas yang menjaga
perbatasan. Oleh imam Ahmad diperluas lagi pengertiannya, yaitu menyantuni para
jemaah haji, karena melaksanakan ibadah haji termasuk berjuang di jalan Allah.
Demikian juga termasuk kedalam pengertian Fi Sabilillah semua bentuk kebaikan
seperti mengkafani orang yang meninggal dunia, membuat jembatan, membuat
benteng pertahanan, dan memakmurkan masjid dalam pengertian yang luas seperti
membangun dan memugar masjid.
Kalau diartikan dengan perang, maka cakupannya
lebih luas lagi, menyangkut dengan persenjataan dan sarana- sarana lainnya yang
diperlukan selama peperangan.
Menurut Imam Maraghi, semua yang berhubungan
dengan kemashalatan umat islam termasuk kedalam pengertian tersebut, seperti
yang menyangkut urusan agama dan pemerintahan seperti pelayanan haji dalam arti
yang luas.
Menurut al-Qasimy dalam tafsirnya yang
dikemukakan, bahwa penyaluran zakat fi sabilillah tidak terbatas pada
peperangan saja, tetapi lebih umum lagi, sepanjang menyangkut dengan
kemaslahatan umat islam.
Oleh sebab itu al-Hasan, Ahmad dan Ishak
berpendapat, bahwa haji termasuk juga fi sabilillah itu sangat umum, asal
berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang mendekatkan diri kepada Allah, yang di
wujudkan dalam berbagai bentuk kebajikan.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Syekh Mahmud
Syaltut pun berpendapat, bahwa penggunaan zakat atas nama fi sabilillah tidak
hanya untuk kepentingan peperangan, tetapi cakupannya lebih luas lagi seperti
mendirikan rumah sakit, lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, yang
memanfaatnya kembali untuk kepentingan umat islam. Beliau juga mengakui, bahwa
dalam penafsiran fi sabilillah, tetap saja terjadi perbedaan pendapat.
Setelah memperhatikan berbagai pendapat, dapat
di simpulkan bahwa pembangunan masjid dan pemugarannya dapat diambil dari zakat
atas nama fi sabilillah, karena jelas benar penggunaan untuk umat islam.[6]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan
dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif
banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu.
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional
tersebut apabila telah mencapai nissab, maka wajib dikeluarkan zakatnya.
Hal ini berdasarkan nash-nash yang
bersifat umum, misalnya firman Allah SWT dalam surah At- Taubah: 103, Al
Baqarah : 267, Ad Dzaariyat 19.
Terdapat
beberapa kemungkinan kesimpulan dalam menentukan nisab, kadar dan waktu
mengeluarkan zakat profesi. Hal ini sangat bergantung pada qiyas yang
dilakukan.
Di dalam tafsir al-Maraghi disebutkan, bahwa
yang dimaksud dengan Fi Sabilillah adalah jalan yang ditempuh menuju
ridha Allah, yaitu orang yang berperang dan petugas-petugas yang menjaga
perbatasan. Oleh imam Ahmad diperluas lagi pengertiannya, yaitu menyantuni para
jemaah haji, karena melaksanakan ibadah haji termasuk berjuang di jalan Allah.
Demikian juga termasuk kedalam pengertian Fi Sabilillah semua bentuk kebaikan
seperti memakmurkan masjid dalam pengertian yang luas seperti membangun dan
memugar masjid.
B. SARAN
Semoga makalah kami ini mampu
memberikan manfaat dan bahan pembelajaran bagi segenap pembaca. Apabila dalam
makalah kami masih banyak kekurangan, kami mohon maaf. Sehingga saran dari
pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah kami selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad . 2002. Zakat Profesi. Jakarta : Penerbit
Salemba Diniyah.
Noor
Aflah. 2009. Arsitektur Zakat Indonesia. Jakarta : UI-Press.
Didin Hafidhudidin, 2002. Zakat
dalam perekonomian modern. Jakarta : Gema Insan Press.
M. Ali Hasan. 1995. Masail
Fiqhiyah.. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
[1]
Drs. Muhammad M.Ag. Zakat Profesi. ( Jakarta : Penerbit Salemba Diniyah.
2002). Hlm 58-59
[2]
Noor Aflah. Arsitektur Zakat Indonesia.
(Jakarta : UI-Press. 2009). Hlm 104-105
[3] Maksudnya:
zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan
kepada harta benda
[4] Maksudnya:
zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.
[5]
Dr. K.H. Didin Hafidhudidin, M.Se. zakat dalam perekonomian modern.
(Jakarta : Gema Insan Press. 2002). Hlm 93-96
[6] M.
Ali. Hasan. Masail Fiqhiyah. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.1995). hlm 15
Masailul Fiqh Tentang Zakat Profesi
4/
5
Oleh
Unknown