Senin, 01 Juni 2015

Masailul Fiqh Tentang Zakat Profesi



Pengertian zakat profesi
Di dalam kamus Bahasa Indonesia (1989 : 702) disebutkan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pndidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Profesiaonal adalah yang bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Sedangkan menurut Fachrudin (1996 :23) Profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, baik melalui suatu keahlian tertentu atau tidak.
Dengan demikian, dari definisi tersebut diatas maka diperoleh rumusan bahwa zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu. Dari definisi diatas jelas ada point-point yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan pekerjaan yang dimaksud, yaitu :
a.    Jenis usaha halal;
b.   Menghasilkan uang relatif banyak;
c.    Diperoleh dengan cara yang mudah;
d.   Melalui keahlian tertentu.
Sehingga dari kriteria tersebut dapat diuraikan jenis-jenis usaha yang berhubungan dengan seseorang. Apabila di tinjau dari bentuknya, usaha profesi tersebut bisa berupa :
a.    Usaha fisik, seperti pegawai dan artis
b.    Usaha fikiran, seperti konsultan, desainer dan dokter.
c.    Usaha kedudukan, seperti komisi dan tunjangan jabatan
d.   Usaha modal, seperti investasi.
Sedangkan apabila di tinjau dari hasil usahanya profesi itu bisa berupa :
a.    Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari; seperti upah pekerja dan gaji pegawai.
b.    Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti; seperti kontraktor , pengacara, royalti pengarang, konsultan dan artis.[1] 
Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum islam). Aq-qur’an dan as-sunah tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi. Begitu juga imam mujtahid seperti Abu Hanafiah, Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Ahmad Abu Hambal belum secara spesifik mengurai dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi. Hal ini disebabkan terbatasnya jenis –jenis usaha atau pekerjaan masyarakat pada masa Nabi Muhammad SAW dan pada masa-masa Imam mujtahid berikutnya.
Sedangkan kita semua tahu bahwa hukum islam adalah refleksi dari peristiwa hukum yang terjadi ketika hukum itu diterapkan. Sebagaimana ketentuan dalam ushul fiqh bahwa hukum islam selalu cocok dan bisa menjawab segala tantangan zaman dan permasalahan yang terjadi di sepanjang masa.
Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa atau yang disebut dengan profesi ini pada masa nabi dan imam-imam mujtahid masa lalu, menjadikan zakat profesi nyaris tidak ada satu pun fiqh klasik yang membahasnya. Oleh sebab itu sangatlah wajar apabila sekarang terjadi kontroversi dan perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini.
Karena zakat profesi tidak di singgung dalam al-qur’an dan hadist, maka beberapa ulama mazhab berpendapat dalam dalam menentukan hal itu. hanya mazhab hanafi yang mengatakan secara tegas, zakat profesi diakui ada dan diwajibkan bagi seluruh muslim. Sedangkan mazhab Syafi’i yang menjadi mazhab sebagian besar umat islam di negara Asia Tenggara malah tidak mengaturnya sama sekali.
Meskipun mazhab syafi’i tidak mengatur mengenai kewajiban zakat profesi, namun cukup banyak ulama yang mendukung di wajibkan zakat profesi bagi muslim.[2]
Yusuf Qaradhawi misalnya, ia menyatakan bahwa diantara kalian yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukannya secara sendiri maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan sendiri, misalnya profesi dokter, arsitek, ahli hukum, penjahit, pelukis, mungkin juga da’i atau muballigh, dan lain sebagainya. Yang dilakukan secara bersama-sama misalnya pegawai (pemerintah maupun swasta)  dengan menggunakan sistem upah dan gaji.
 Wahbah al -Zuhaili secara khusus mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan yang diterima seseorang melalui usaha sendiri( wirausaha) seperti dokter, insinyur, ahli hukum, penjahit dan sebagainya. Dan juga yang terkait dengan pemerintahan (pegawai negeri) atau pegawai swasta yang mendapatkan gaji atau upah dalam waktu yang relatif tetap. Seperti sebulan sekali. Penghasilan atau pendapatan yang semacam ini dalam istilah fiqh dikatakan sebagai al-maal al-mustafaad.
Sementara itu, fatwa ulama yang dihasilkan pada waktu muktamar internasional pertama tentang zakat kuwait pada tanggal 30 appril 1984 bahwa salah satu kegiatan menghasilkan kekuatan bagi manusia sekarang adalah kegiatan profesi yang menghasilkan amal yang bermanfaat, baik yang dilakukan sendiri, seperti kegiatan dokter, arsitek dan yang lainnya, maupun yang dilakukan secara bersama-sama, seperti para karyawan atau para pegawai. Semua itu menghasilkan pendapatan atau gaji.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa bahwa zakat penghasilan yang menjadi landasan zakat profesi beberapa tahun lalu wajib.
2.        Landasan Hukum Kewajiban  Zakat Profesi 
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut apabila telah mencapai nissab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal  ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum, misalnya firman Allah SWT dalam surah At- Taubah: 103 yang Artinya :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Al Baqarah : 267
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Sayyid Qurtub dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an ketika menafsirkan firman Allah dalam surah Al-baqarah ayat 267 menyatakan, bahwa nash itu mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian, maupun hasil pertambangan seperti minyak. Karena itu nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman Rasulullah saw, maupun di zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagaimana yang diterangkan dalam sunah Rasulullah saw, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang di qiyaskan kepadanya. Al-Qurtubi dalam tafsir Al-Jaami’ li ahkaam Al-Qur’an mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata –kata hakkun ma’lu (hak yang pasti) pada surah Adz- Dzariyaat : 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang di dapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya.
Sementara itu, kesepakatan dari para peserta Muktamar Internasional tentang zakat di kuwait ini mengatakan bahwa telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nisab. Kesimpulan diatas antara lain berdasarkan :
Pertama, ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya.
Kedua, berbagai pendapat para ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda. Sebagian dengan menggunakan istilah yang bersifat umum yaitu al-amwaal, sementara sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah al-maad al-mustafaad seperti terdapat dalam Fiqh Al-Islamy wa’ Adillatuhu.
Ketiga, dari sudut keadilan yang merupakan ciri utama ajaran islam sampai penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangan jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetapi harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai nisab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat inipun bersifat wajib bagi bagi penghasil yang didapat para dokter, ahli hukum, konsultan dalam berbagai bidang, para dosen, para pegawai dn karyawan yang memiliki gaji tinggi, dan profesi lainnya.
Keempat, sejalan dengan perkembangan kehidupan umad manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti tejadi di negara-negara industri sekarang ini. Penetapan kewajiban zakat kepadanya menunjukan betapa hukum islam sangat aspiratif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Afif Abdul Fatah Thabari mengatakan bahwa aturan dalam islam itu bukan saja berdasarkan pada keadilan bagi seluruh umad manusia, akan tetapi sejalan dengan kemaslahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan keadaan, walaupun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu.
3.        Nisab, Waktu, Kadar, dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Terdapat beberapa kemungkinan kesimpulan dalam menentukan nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi. Hal ini sangat bergantung pada qiyas yang dilakukan.
Pertama jika  dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nisab, kadar, dan waktu mengeluarkan sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas, dan perak. Nisabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan waktu pengeluarannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok.
Contoh jika di A berpenghasilan Rp 5.000.000.00 setiap bulan dan kebutuhan pokoknya perbulan sebesar  Rp 3.000.000.00 maka besar zakat yang dikeluarkan adalah : 2,5 % x12 x Rp 2.000.000.00 atau sebesar Rp 600.000.00 pertahun/ Rp 50.000.00 per bulan.
Kedua, jika dianalogikakan pada zakat pertanian, maka nisabnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5% dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh kasus diatas, maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000.00 atau sebesar  Rp 1.200.000.00 per tahun/ Rp 100.000.00 per bulan.
Ketiga, jika dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesarnya 20 % tanpa ada nishab, dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Pada contoh diatas, maka si A mempunyai kewajiban berzakat sebesar 20 % x 5.000.000.00 atau sebesar Rp 1.000.000.00 perbulan.
Zakat profesi bisa dianalogikan pada dua hal sekaligus, yaitu pada zakat pertanian dan padda zakat emas dan perak. Dari sudut nishab dianalogikan pada zakat pertanian, yaitu sebesar 5 ausaq atau senilai 653 kg padi/ gandum dan dikeluarkan saat menerimanya. Misalnya setiap bulan bagi karyawan yang menerima gaji bulanan langsung dikeluarkan zakatnya, sama seperti zakat pertanian yang dikeluarkan pada saat panen, sebagaimana yang digambarkan Allah SWT dalam surah al-An’am :141
* uqèdur üÏ%©!$# r't±Sr& ;M»¨Yy_ ;M»x©rá÷è¨B uŽöxîur ;M»x©râ÷êtB Ÿ@÷¨Z9$#ur tíö¨9$#ur $¸ÿÎ=tFøƒèC ¼ã&é#à2é& šcqçG÷ƒ¨9$#ur šc$¨B9$#ur $\kÈ:»t±tFãB uŽöxîur 7mÎ7»t±tFãB 4 (#qè=à2 `ÏB ÿ¾Ín̍yJrO !#sŒÎ) tyJøOr& (#qè?#uäur ¼çm¤)ym uQöqtƒ ¾ÍnÏŠ$|Áym ( Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä šúüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÊÍÊÈ  
Artinya :
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin). Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Karena dianalogikan pada zakat pertanian, maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan haul. Ketentuan waktu menyalurkannya adalah pada saat menerima, misalnya setiap bulan, dapat di dasarkan pada ‘urf (tradisi) disebuah negara. Karena itu profesi yang menghasilkan pendapatan setiap hari, misalnya dokter yang membuka praktek sendiri, atau para da’i yang setiap hari berceramah, zakatnya dikeluarkan sebulan sekali.
Penganalogian zakat profesi dengan zakat pertanian dilakukan karena ada kemiripan antara keduanya (al-syabah). Jika hasi panen pada setiap musim berdiri snediri tidak terkait dengan hasil sebelumnya, demikian pula gajih dan upah yang diterima, tidak terkait antara penerimaan bulan kesatu dan bulan kedua dan bulan pertama dan bulan kedua dan seterusnya sampai dengan jangka waktu satu tahun atau tahun tutup buku.
Dari sudut kadar zakat, dianalogikan pada zakat uang, karena memang gaji,honorarium, upah dan lainnya, pada umumnya diterima dalam bentuk uang. Karena itu kadar zakatnya adalah sebesar  rub’ul usyri atau 2,5 %.
Qiyas syabah yang digunakan dalam menetapkan kadar dan nishab zakat profesi dan zakat pertanian dan zakat nuqud (emas dan perak) adalah qiyas yang ilat hukumnya ditetapkan melalui metode syabah. Contoh qiyas yang illat hukumnya di tetapkan melalui metode syabah. Contoh qiyas yang dikemukakan oleh Muhammad al-Amidi adalah sahaya yang dia analogikan pada dua hal yaitu pada manusia (mafsiyyah) menyerupai orang yang merdeka (al-hur) dan di analogikan pula pada kuda, karena dimiliki dan dapat diperjual belikan di pasar.
Atas dasar keterangan tersebut diatas, jika seorang konsultan mendapatkan honorarium misalnya lima juta rupiah setiap bulan, dan ini sudah mencapai nishab, maka wajib mengeluarkan zakatnya senilai 2,5 % sebulan sekali. Semisalkan pula misalnya seorang pegawai perusahaan swasta yang setiap bulannya menerima gaji sepuluh juta rupiah, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % sebulan sekali. Sebaliknya, seorang pegawai ayng bergaji satu juta rupiah perbulan dan ia belum mencapai nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Akan tetapi kepadanya dianjurkan untuk berinfak dan bersedekah, yang jumlahnya tergantung pada kemampuan dan keikhlasannya. Hal ini sejalan dengan surah Ali-Imran : 134. [5]
B.   Penyaluran Zakat Untuk Pembangunan Dan Pemugaran Masjid
Sebagaimana yang diketahui, bahwa penyaluran (sasaran) zakat adalah kepada delapan sasaran (masharif) sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an :
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ  
Artinya :
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.      
Berdasarkan ayat diatas jelas, bahwa zakat itu wajib diserahkan kepada sasaran (masharif) yang delapan itu. diantara delapan sasaran itu, Fi Sabilillah (jalan Allah). Yang penafsirannya lebih beragam. Ada yang memahaminya dengan perhatian yang lebih sempit.
Di dalam tafsir al-Maraghi disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Fi Sabilillah adalah jalan yang ditempuh menuju ridha Allah, yaitu orang yang berperang dan petugas-petugas yang menjaga perbatasan. Oleh imam Ahmad diperluas lagi pengertiannya, yaitu menyantuni para jemaah haji, karena melaksanakan ibadah haji termasuk berjuang di jalan Allah. Demikian juga termasuk kedalam pengertian Fi Sabilillah semua bentuk kebaikan seperti mengkafani orang yang meninggal dunia, membuat jembatan, membuat benteng pertahanan, dan memakmurkan masjid dalam pengertian yang luas seperti membangun dan memugar masjid.
Kalau diartikan dengan perang, maka cakupannya lebih luas lagi, menyangkut dengan persenjataan dan sarana- sarana lainnya yang diperlukan selama peperangan.
Menurut Imam Maraghi, semua yang berhubungan dengan kemashalatan umat islam termasuk kedalam pengertian tersebut, seperti yang menyangkut urusan agama dan pemerintahan seperti pelayanan haji dalam arti yang luas.
Menurut al-Qasimy dalam tafsirnya yang dikemukakan, bahwa penyaluran zakat fi sabilillah tidak terbatas pada peperangan saja, tetapi lebih umum lagi, sepanjang menyangkut dengan kemaslahatan umat islam.
Oleh sebab itu al-Hasan, Ahmad dan Ishak berpendapat, bahwa haji termasuk juga fi sabilillah itu sangat umum, asal berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang mendekatkan diri kepada Allah, yang di wujudkan dalam berbagai bentuk kebajikan.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Syekh Mahmud Syaltut pun berpendapat, bahwa penggunaan zakat atas nama fi sabilillah tidak hanya untuk kepentingan peperangan, tetapi cakupannya lebih luas lagi seperti mendirikan rumah sakit, lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, yang memanfaatnya kembali untuk kepentingan umat islam. Beliau juga mengakui, bahwa dalam penafsiran fi sabilillah, tetap saja terjadi perbedaan pendapat.
Setelah memperhatikan berbagai pendapat, dapat di simpulkan bahwa pembangunan masjid dan pemugarannya dapat diambil dari zakat atas nama fi sabilillah, karena jelas benar penggunaan untuk umat islam.[6]





















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu.
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut apabila telah mencapai nissab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal  ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum, misalnya firman Allah SWT dalam surah At- Taubah: 103, Al Baqarah : 267, Ad Dzaariyat 19.
Terdapat beberapa kemungkinan kesimpulan dalam menentukan nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi. Hal ini sangat bergantung pada qiyas yang dilakukan.
Di dalam tafsir al-Maraghi disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Fi Sabilillah adalah jalan yang ditempuh menuju ridha Allah, yaitu orang yang berperang dan petugas-petugas yang menjaga perbatasan. Oleh imam Ahmad diperluas lagi pengertiannya, yaitu menyantuni para jemaah haji, karena melaksanakan ibadah haji termasuk berjuang di jalan Allah. Demikian juga termasuk kedalam pengertian Fi Sabilillah semua bentuk kebaikan seperti memakmurkan masjid dalam pengertian yang luas seperti membangun dan memugar masjid.
B.  SARAN
Semoga makalah kami ini mampu memberikan manfaat dan bahan pembelajaran bagi segenap pembaca. Apabila dalam makalah kami masih banyak kekurangan, kami mohon maaf. Sehingga saran dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah kami selanjutnya





DAFTAR PUSTAKA

Muhammad .  2002. Zakat Profesi. Jakarta : Penerbit Salemba Diniyah.
Noor  Aflah. 2009. Arsitektur Zakat Indonesia. Jakarta : UI-Press.
Didin Hafidhudidin, 2002. Zakat dalam perekonomian modern. Jakarta : Gema Insan Press.
M. Ali Hasan. 1995. Masail Fiqhiyah.. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
                           


[1] Drs. Muhammad M.Ag. Zakat Profesi. ( Jakarta : Penerbit Salemba Diniyah. 2002). Hlm 58-59
[2] Noor  Aflah. Arsitektur Zakat Indonesia. (Jakarta : UI-Press. 2009). Hlm 104-105
[3] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[4] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
[5] Dr. K.H. Didin Hafidhudidin, M.Se. zakat dalam perekonomian modern. (Jakarta : Gema Insan Press. 2002). Hlm 93-96
[6] M. Ali. Hasan. Masail Fiqhiyah. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.1995). hlm 15

Artikel Terkait

Masailul Fiqh Tentang Zakat Profesi
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email