Minggu, 31 Mei 2015

Cerita Kampung Blogger Sukses Menjalankan Bisnis Online

Dari Takut bisnis online hingga menuju sukses. Bagi para sahabat blogger di Desa Menowo, Kabupaten Magelang nama "KAMPUNG BLOGGER" sudah tidak asing bagi mereka. Di Desa itu kegiatan ngeblog merupakan aktifitas peluang usaha yang sudah ditekuni mereka sejak lama. Banyak para Blogger yang datang dan ingin berguru di sana tidak hanya dari sekitar Magelang saja, namun banyak juga mereka yang berasal dari daerah lain yang rela meluangkan waktunya  datang khusus untuk belajar banyak dari Mas Sumbodo Malik tentang kiat-kiat sukses dalam menjalankan bisnis di dunia maya.
kampung-bloggerMas sumbodo merupakan lulusan akademis salah satu universitas ternama di jakarta, dulu mas sumbodo memiliki hobi merakit komputer. Tetapi seiring berjalannya waktu mas sumbodo merasakan hal buruk, yaitu uang yang di kirim orang tuannya selalu kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dikarenakan selalu habis untuk membeli komputer. alhasil setelah uang habis, setiap hari mas sumbodo harus makan mie instan.
Mas Sumbodo mengawali Bisnis online pada tahun 2006/2007, beliau memberanikan diri meminjam uang kepada pacarnya hanya untuk membeli hosting dan menyewa domain. mas sumbodo pada saat itu sempat khawatir jika ia tidak bisa mengembalikan uang yang dia pinjam, karena penghasilan dari bisnis online tak kunjung membuahkan hasil pada saat itu. akan tetapi rasa kekhawatiran itu sirna di benaknya ketika mas sumbodo mendapat hasil 400 dollar pertama setelah menunggu satu bulan lamanya.
Kemudian Ia memutuskan pulang kampung ke Magelang dan melanjutkan kegiatan blogging di kampung halamannya di Menowo. Sebelumnya Sumbodo serta rekan-rekan kerja yang diajaknya ngeblog juga menekuni kegiatan bisnis online tersebut saat masih di Jakarta, beberapa rekan kerjanya satu persatu keluar dari perusahaan setelah berhasil mendapatkan income yang lumayan dari bisnis online mereka. Sehingga Sumbodo sendiri memutuskan untuk mudik dan akhirnya mendirikan Kampung Blogger.
Agar orang lain percaya ada saat dimana mereka membutuhkan bukti nyata, begitupun yang dilakukan Sumbodo. Tidak dengan bermaksud pamer, ketika pulang ke Magelang Ia membeli mobil dan motor sebagai bukti dari hasil kegiatan nge-blognya. Sehingga akhirnya teman-teman sekampungnya percaya dan mengikuti jejak Sumbodo. Ada satu kejadian unik, lucu dan menegangkan dari perjalanan Kampung Blogger, saat di mana mereka dikira sebagi teroris. Ada sebagian pihak yang mengira bahwa mereka adalah anggota teroris, alasannya karena penghasilan yang didapatkan dari kegiatan nge-blog di internet lumayan besar. Namun setelah dijelaskan seperti apa kegiatan yang dilakukan Sumbodo dan anggotanya di internet, akhirnya masyarakatpun percaya, dan anggota Kampung Blogger mampu melewati saat-saat yang sedikit menegangkan itu.
kisah-kampung-blogger
Bahkan hingga kini yang menjadi anggota Kampung blogger tidak hanya Sumbodo bareng teman-temannya saja, namun ibu-ibu rumah tangga, anak-anak putus sekolah, bahkan termasuk anggota polisi dan tentara ada juga yang ikut nge-blog. Sumbodo dan anggota lainnya menerapkan sebuah prinsip atau aturan " YANG BISA WAJIB MENGAJARI YANG TIDAK BISA", menarik bukan? Berbagi ilmu, wawasan dan pengetahuan sudah merupakan kegitan sosial yang dilakukan Kampung Blogger beserta para anggotanya di manapun mereka berada. Kegitan tersebut saya rasa patut untuk kita contoh.
Semoga sepenggal kisah inspiratif itu memberikan pencerahan kepada kita, bahwa dalam hidup  ini apapun yang kita cita-citakan bisa kita gapai melalui usaha sungguh-sungguh dan bermental baja.

Konten Asli: http://www.ceritablogger.com/2014/10/cerita-kampung-blogger-merintis-usaha-bisnis-online.html

Sabtu, 30 Mei 2015

Ulumul Qur'an Tentang Rasm al-Qur'an

Ulumul Qur'an Tentang Rasm al-Qur'an

BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Quran sebagai kitab suci terakhir dimaksudkan untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab diturunkan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat manusia hingga akhir zaman.
Al-Quran juga merupakan salah satu sumber hukum islam yang menduduki peringkat teratas[1]. Dan seluruh ayatnya berstatus qat’I al-wurud yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT.[2]
Autensitas serta orisinilitas Al-Quran benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Karena ia merupakan kalam Allah baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al-Quran telah ditulis dan didokumentasikan oleh para tulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.[3] Disamping itu seluruh ayat Al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawattir baik secara hafalan maupun tulisan ditulis dan dibukukan dalam satu mushaf.
Al-Quran yang dimiliki ummat Islam sekarang mengalami proses sejarah yang unik penulisan untuk dikumpulkan dalam satu mushaf. Akan tetapi hanya ditulis dalam kepingan-kepingan tulang, pelapah-pelapah kurma, dan  batu-batu sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat pada waktu itu yang belum mengenal adanya alat tulis menulis seperti kertas.
Untuk menfungsikan Al-Qur’an dan memahami isi serta kandungannya maka diperlukan suatu ilmu yang terkait salah satunya adalah ilmu rasm al-quran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian rasm Al-Qur’an?.
2.      Bagaimanakah Pola penulisan al-Quran dalam Mushaf Utsmani?
3.      Bagaimana Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani?
4.      Bagaimana Hubungan Rasm Utsmani dengan Pemahaman Al-Qur’an?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian rasm Al-Qur’an?.
2.      Untuk mengetahui Pola penulisan al-Quran dalam Mushaf Utsmani?
3.      Untuk mengetahui Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani?
4.      Untuk mengetahui Hubungan Rasm Utsmani dengan Pemahaman Al-Qur’an?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Rasm al-Qur’an
Istilah rasm al-Qur’an terdiri dari dua kata: rasm dan al-Qur’an. Rasm berasal dari kata rasama-yarsamu yang artinya menggambar atau melukis. Istilah Rasm dalam Ulumul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan Al-Quran yang digunakan oleh Utsman bin Affan dan Sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an.[4] Sedangkan Al-Qur’an adalah bacaan atau kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantara Malaikat Jibril yang ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), mempelajarinya merupakan amal-ibadah, dimulai oleh surat al-Fatihah dan ditutup oleh surat an-Nas.[5]
Berdasarkan makna bahasa itu dapat dikatakan bahwa rasm al-Qur’an berarti tata cara menuliskan  al-Qur’an yang dtetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Ulama Tafsir lebih cenderung menamainya dengan istilah rasm al-mushaf, dan ada pula yang menyebutnya dengan rasm al-Utsmani. Penyebutan demikian dipandang wajar karena Khalifah Utsman bin Affan yang merestui dan mewujudkannya dalam bentuk kenyataan. Rasm al-mushaf adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat lainnya dalam hal penulisan al-Qur’an berkaitan dengan mushaf-mushaf yang di kirim ke berbagai daerah dan kota, serta Mushaf al-Imam yang berada di tangan Utsman bin Affan sendiri.
B.     Pola penulisan al-Quran dalam Mushaf Utsmani
Mushaf Utsmani ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan kaidah tulisan imlak. Para ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah.
a.       Al-Hadz berarti membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf.[6] Contohnya, menghilangkan  huruf alif pada ya’ nida (يااْيها الناس), dari ha tanbih (هانثم ), pada lafazh jalalah dan dari kata na (نا) (انجينكم).
b.      Al-ziyadah berarti penambahan. Kata yang ditambah hurufnya dalam Rasm Utsmani adalah alif, ya dan wawu[7].
1)      Menambah huruf alif setelah wawu pada akhir setiap isim jama’ atau yang mempunyai hukum jama’. Misalnya
    (اولواالالباب) dan ( بنواسرائيل 
2)      Menambahkan alif setelah hamzah Marsumah wawu (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu). Misalnya
3)      Menambahkan huruf “yaa’, sebagaimana yang terdapat didalam ungkapan: وايثاءي ذي القربي
c.       Al-Hamzah, salah satu kaidah bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat harakat yang sebelumnya, contoh:
d.      Badal berarti penggantian.
1)      Huruf alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata
2)      Huruf alif ditulis dengan ya’ pada kata-kata berikut:
e.       Washal dan fashal (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul  yang diiringi kata ma ditulis dengan sambung
f.        Kata yang dapat dibaca dua bunyi
Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Didalam mushaf Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, misalnya “maaliki yaumiddin (ملك يوم الدين). Ayat diatas boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).[8]
C.    Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani
Kedudukan rasm Utsmani diperselisihkan para ulama. apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.       Jumhur Ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat taufiqi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat, Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi didalam penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in.[9]
Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi, (taufiqi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).[10]
b.      Sebagian Ulama berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an  dalam rasm Utsmani hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi, tidak bersifat taufiqi. Hal ini karena, tidak  ada nash baik berupa ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah yang menunjukkan adanya  keharusan menulis al-Qur’an menurut rasm atau pola tertentu.
Sehubungan dengan ini, al-Qadi Abu Bakr al-Baqilani sebagaimana dikutip oleh Muhammad Rajab Farjani menyatakan sebagai berikut[11]:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintahkan untuk menulis al-Qur’an, tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu kepada para sahabat, dan tidak juga melarang menulisnya dengan model tertentu. Karena itu, berbeda model penulisan al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka; ada yang menulis suatu lafaz al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafaz tersebut, dan ada yang menambah atau menguranginya (huruf-huruf tertentu), karena mereka tahu bahwa hal ini hanya suatu cara. Karena itu, dibolehkan menulis mushaf dengan bentuk huruf serta pola penulisan gaya masa lampau, dan boleh pula menulisnya dengan bentuk huruf serta pola penulisan menurut gaya baru.”

Ulama yang tidak mengakui Rasm Utsmani sebagai rasm tauqifi berpendapat bahwa tidak  ada masalah jika Al-Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Persoalan pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Jika pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut karena pola penulisan itu hanyalah simbol pembacaan yang tidak akan mempengaruhi makna Al-Qur’an.[12]
c.       Sebagian Ulama lainnya mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm  Usmani tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat diperkuat Al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’I diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Usmani di perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an.[13]
Tampaknya, pendapat yang ketiga ini berupaya mengkompromikan antara dua pendapat terdahulu yang bertentangan. Disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm Utsmani, sementara dipihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’I, untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca  Al-Qur’an dengan rasm Usmani.[14] Dan pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat. Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm Usmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar yang tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian Rasm Usmani harus dipelihara sebagai  standar rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Usmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.
Dari ketiga pendapat diatas penulis menarik kesimpulan bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi tulisan mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekertaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.   
D.    Hubungan Rasm Utsmani dengan Pemahaman Al-Qur’an
Pada mulanya, mushaf para sahabat berbeda sama sekali antara satu dan lainnya. Mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak ada rencana untuk diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka, ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi Saw., ada juga lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dari tulisannya yang hanya di ketahui oleh penulisnya.
Pada masa permulaan Islam, mushaf al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Ustmani  tidak seperti yang dikenal sekarang yang dilengkapi oleh tanda-tanda baca. Pun, belum ada tanda-tanda berupa titik sehingga sulit membedakan  antara huruf ya dan ba. Demikian pula antara sin dan syin, antara tha dan zha, antara jim, ha, dan kha. Dan seterusnya. Para sahabat belum menemukan kesulitan membacanya karena rata-rata masih mengandalkan hafalan.
Kesulitan mulai muncul ketika dunia Islam semakin meluas ke wilayah-wilayah non-Arab, seperti Persia disebelah Timur, Afrika di sebelah Selatan, dan beberapa wilayah non-Arab lainnya di sebelah Barat. Masalah ini mulai disadari oleh pimpinan dunia Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah, Irak, pada masa kekuasaan Mu’awwiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), riwayat lainmenyebutkan pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali untuk segera membuat tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang tidak hafal al-Qur’an.
Ad-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan kasus salah baca yang sangat fatal, yakni surat at-Taubah. Atas perintah gubernur itu, as-Duwali memberi tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf, sebuah titik di bawah huruf sebagai tanda baris bawah (kasrah), tanda dhammah berupa wau kecil di antara dua huruf, dan tanpa tanda apa-apa bagi konsonan mati.
Rasm al-Qur’an mengalami perkembangan yang sangat pesat pada beberapa periode berikutnya. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an . Ia mendelegasikan tugas itu kepada Nashid ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ma’mur, dua orang murid ad-Dawali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik di sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antar satu dengan lainnya. Misalnya, penambahan titik diatas huruf dal yang kemudian menjadi dzal. Penambahan yang bervariasi pada sejumlah huruuf dasar ba yang kemudian menjadi huruf ba, nun , ta dan huruf dasar ha yang kemudian berubah menjadi kha, ha, dan jim. Huruf ra dibedakan dengan huruf za, huruf sin  dibedakan dengan syin, huruf shad dibedakan dengan dhad, huruf tha  dibedakan dengan zha, huruf ‘ain dibedakan dengan ghin, huruf fa dibedakan dengan qaf.[15]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Rasm al-Qur’an adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat lainnya dalam hal penulisan al-Qur’an berkaitan dengan mushaf-mushaf yang di kirim ke berbagai daerah dan kota, serta Mushaf al-Imam yang berada di tangan Utsman bin Affan sendiri.
2.      Para ulama merumuskan kaidah-kaidah Rasm Utsmani menjadi enam istilah, yaitu:
a.       Al-Hadz berarti membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf.
b.      Al-ziyadah berarti penambahan.
c.       Al-Hamzah
d.      Badal berarti penggantian.
e.       Washal dan fashal (penyambungan dan pemisahan),
f.       Kata yang dapatdibaca dua bunyi
3.      Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani
Kedudukan rasm Utsmani diperselisihkan para ulama. apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.       Jumhur Ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat taufiqi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW.
b.      Sebagian Ulama berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an  dalam rasm Utsmani hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi, tidak bersifat taufiqi.
c.       Sebagian Ulama lainnya mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm  Usmani tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut.
4.      Hubungan Rasm Utsmani dengan Pemahaman Al-Qur’an
Pada masa permulaan Islam, mushaf al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Ustmani  tidak seperti yang dikenal sekarang yang dilengkapi oleh tanda-tanda baca. Pun, belum ada tanda-tanda berupa titik sehingga sulit membedakan  antara huruf ya dan ba. Kesulitan mulai muncul ketika dunia Islam semakin meluas ke wilayah-wilayah non-Arab, seperti Persia disebelah Timur, Afrika di sebelah Selatan, dan beberapa wilayah non-Arab lainnya di sebelah Barat.



B.     Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit pengetahuan kepada teman-teman dan penulis secara pribadi. Sehingga menjadi suatu amal kebaikan yang akan diterima olej Allah SWT.


Daftar Pustaka

Khallaf, Abdul Wahab. 1968. Ilmu Ushul Al-Fiqh [cet 1], Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah.
 AF, Hasanuddin. 1995.  Anatomi Al-Qur’an Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-Qur’an, Cet 1;Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Izzan, Ahmad. 2005.  Ulumul Qur’an. Bandung: Tafakkur.
Shihab, M. Quraish, dkk. 2001. Sejarah  dan Ulum Al-Qur’an Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus.
Anwar, Rosihan . 2010.  Ulum AL-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Marzuki, Kamaluddin. 1994. Ulum al-Qur’an. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh [cet 1], (Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah, 1968), h. 21
[2]Ibid,  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, h. 34
[3]Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-Qur’an [Cet 1], (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), h. 2
[4] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, (Bandung: Tafakkur, 2005), h. 106
[5] Ibid, Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, h. 206
[6]Rosihan Anwar, Ulum AL-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 49
[7]Kamaluddin Marzuki, Ulum al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 79
[8] Ibid, Rosihan Anwar, Ulum AL-Qur’an, h. 49
[9]M.Quraish Shihab, dkk, Sejarah  dan Ulum Al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 95.  
[10] Ibid, Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, h. 110
[11] Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap  Istimbath Hukum  Dalam Al-Qur’an (Cet, I; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), h. 86
[12] Ibid, Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, h. 110
[13] M.Quraish Shihab, Op.Cit, h. 89.
[14] Ibid, Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran h. 90
[15] Ibid, Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran h. 112