BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Quran sebagai kitab suci terakhir
dimaksudkan untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat
kitab diturunkan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat manusia hingga akhir
zaman.
Al-Quran juga merupakan salah satu
sumber hukum islam yang menduduki peringkat teratas.
Dan seluruh ayatnya berstatus qat’I al-wurud yang diyakini eksistensinya
sebagai wahyu dari Allah SWT.
Autensitas serta orisinilitas
Al-Quran benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Karena ia merupakan kalam
Allah baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.
Sejak awal hingga akhir turunnya,
seluruh ayat Al-Quran telah ditulis dan didokumentasikan oleh para tulis wahyu
yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.
Disamping itu seluruh ayat Al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara
mutawattir baik secara hafalan maupun tulisan ditulis dan dibukukan dalam satu
mushaf.
Al-Quran yang dimiliki ummat Islam
sekarang mengalami proses sejarah yang unik penulisan untuk dikumpulkan dalam
satu mushaf. Akan tetapi hanya ditulis dalam kepingan-kepingan tulang,
pelapah-pelapah kurma, dan batu-batu sesuai dengan kondisi peradaban
masyarakat pada waktu itu yang belum mengenal adanya alat tulis menulis seperti
kertas.
Untuk menfungsikan Al-Qur’an dan memahami
isi serta kandungannya maka diperlukan suatu ilmu yang terkait salah satunya
adalah ilmu rasm al-quran.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian rasm Al-Qur’an?.
2.
Bagaimanakah Pola penulisan al-Quran dalam Mushaf
Utsmani?
3.
Bagaimana Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani?
4.
Bagaimana Hubungan Rasm Utsmani dengan Pemahaman
Al-Qur’an?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian rasm Al-Qur’an?.
2.
Untuk mengetahui Pola penulisan al-Quran dalam Mushaf
Utsmani?
3.
Untuk mengetahui Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani?
4.
Untuk mengetahui Hubungan Rasm Utsmani dengan
Pemahaman Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rasm al-Qur’an
Istilah
rasm al-Qur’an terdiri dari dua kata: rasm dan al-Qur’an. Rasm berasal dari
kata rasama-yarsamu yang artinya menggambar atau melukis.
Istilah Rasm dalam Ulumul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan Al-Quran yang
digunakan oleh Utsman bin Affan dan Sahabat-sahabatnya ketika menulis dan
membukukan Al-Qur’an.
Sedangkan Al-Qur’an adalah bacaan atau kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw dengan perantara Malaikat Jibril yang ditulis dalam mushaf-mushaf
dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak),
mempelajarinya merupakan amal-ibadah, dimulai oleh surat al-Fatihah dan ditutup
oleh surat an-Nas.
Berdasarkan makna bahasa itu dapat
dikatakan bahwa rasm al-Qur’an
berarti tata cara menuliskan al-Qur’an
yang dtetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Ulama Tafsir lebih
cenderung menamainya dengan istilah rasm
al-mushaf, dan ada pula yang menyebutnya dengan rasm al-Utsmani. Penyebutan demikian dipandang wajar karena
Khalifah Utsman bin Affan yang merestui dan mewujudkannya dalam bentuk
kenyataan. Rasm al-mushaf adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman
bin Affan beserta sahabat lainnya dalam hal penulisan al-Qur’an berkaitan
dengan mushaf-mushaf yang di kirim ke berbagai daerah dan kota, serta Mushaf
al-Imam yang berada di tangan Utsman bin Affan sendiri.
B. Pola penulisan al-Quran dalam Mushaf Utsmani
Mushaf Utsmani ditulis menurut
kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan kaidah tulisan imlak. Para
ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah.
a.
Al-Hadz berarti membuang, menghilangkan
atau meniadakan huruf.
Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida (يااْيها الناس), dari ha tanbih (هانثم ), pada lafazh jalalah dan
dari kata na (نا) (انجينكم).
b.
Al-ziyadah berarti penambahan. Kata yang
ditambah hurufnya dalam Rasm Utsmani
adalah alif, ya dan wawu.
1)
Menambah huruf alif
setelah wawu pada akhir setiap isim jama’ atau yang mempunyai hukum
jama’. Misalnya
(اولواالالباب) dan
( بنواسرائيل
2)
Menambahkan alif
setelah hamzah Marsumah wawu (hamzah yang
terletak di atas tulisan wawu). Misalnya
3)
Menambahkan huruf “yaa’, sebagaimana yang terdapat
didalam ungkapan: وايثاءي ذي القربي
c.
Al-Hamzah, salah satu kaidah bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan
huruf ber-harakat harakat yang
sebelumnya, contoh:
d.
Badal berarti penggantian.
1)
Huruf alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata
2)
Huruf alif
ditulis dengan ya’ pada kata-kata
berikut:
e.
Washal dan fashal (penyambungan dan
pemisahan), seperti kata kul yang diiringi kata ma ditulis dengan sambung
f.
Kata yang dapat dibaca dua bunyi
Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi penulisannya disesuaikan dengan
salah satu bunyinya. Didalam mushaf Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis
dengan menghilangkan alif, misalnya “maaliki
yaumiddin (ملك
يوم الدين). Ayat diatas boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh
juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).
C. Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani
Kedudukan rasm Utsmani
diperselisihkan para ulama. apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau
hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat taufiqi dengan alasan
bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya
Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat, Nabi,
dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi
didalam penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat
terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para
sahabat dan tabi’in.
Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani
adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi,
(taufiqi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahi
kaidah penulisan yang telah dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam
Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm
Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas
(jumhur ulama).
b.
Sebagian
Ulama berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an dalam rasm Utsmani hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi, tidak
bersifat taufiqi. Hal ini karena,
tidak ada nash baik berupa ayat
al-Qur’an maupun al-Sunnah yang menunjukkan adanya keharusan menulis al-Qur’an menurut rasm atau
pola tertentu.
Sehubungan dengan ini, al-Qadi Abu Bakr al-Baqilani sebagaimana dikutip
oleh Muhammad Rajab Farjani menyatakan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintahkan untuk
menulis al-Qur’an, tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu kepada para
sahabat, dan tidak juga melarang menulisnya dengan model tertentu. Karena itu,
berbeda model penulisan al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka; ada yang menulis
suatu lafaz al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafaz tersebut, dan ada yang menambah
atau menguranginya (huruf-huruf tertentu), karena mereka tahu bahwa hal ini
hanya suatu cara. Karena itu, dibolehkan menulis mushaf dengan bentuk huruf
serta pola penulisan gaya masa lampau, dan boleh pula menulisnya dengan bentuk
huruf serta pola penulisan menurut gaya baru.”
Ulama yang tidak mengakui Rasm
Utsmani sebagai rasm tauqifi berpendapat
bahwa tidak ada masalah jika Al-Qur’an
ditulis dengan pola penulisan standar (rasm
imla’i). Persoalan pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Jika pembaca
merasa lebih mudah dengan rasm imla’i, ia
dapat menulisnya dengan pola tersebut karena pola penulisan itu hanyalah simbol
pembacaan yang tidak akan mempengaruhi makna Al-Qur’an.
c.
Sebagian Ulama
lainnya mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I dapat
dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm
Usmani tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat
diperkuat Al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’I diperlukan
untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm
Usmani di perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an.
Tampaknya, pendapat yang ketiga ini berupaya mengkompromikan antara dua
pendapat terdahulu yang bertentangan. Disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm
Utsmani, sementara dipihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan
Al-Qur’an dengan rasm imla’I, untuk memberikan kemudahan bagi kaum
muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca Al-Qur’an dengan rasm
Usmani.
Dan pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat. Namun
demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm Usmani harus
diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya
tidak boleh hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa
ini cukup besar yang tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit
jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan
lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti
tulisan latin. Namun demikian Rasm Usmani harus dipelihara sebagai
standar rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an
dalam karya ilmiah, rasm Usmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah
masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk
mengabaikannya.
Dari ketiga pendapat diatas penulis menarik kesimpulan bahwa menjaga
keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani. Akan tetapi
segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain
berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi
tulisan mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan
Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah
Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang
merupakan sekertaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa
Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.
D. Hubungan Rasm Utsmani dengan Pemahaman Al-Qur’an
Pada mulanya, mushaf para sahabat berbeda sama sekali
antara satu dan lainnya. Mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan
standar karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak ada
rencana untuk diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka, ada yang
menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi Saw., ada juga lagi
yang menambahkan simbol-simbol tertentu dari tulisannya yang hanya di ketahui
oleh penulisnya.
Pada masa permulaan Islam, mushaf al-Qur’an belum
mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Ustmani tidak seperti yang dikenal sekarang yang
dilengkapi oleh tanda-tanda baca. Pun, belum ada tanda-tanda berupa titik
sehingga sulit membedakan antara huruf ya dan ba. Demikian pula antara sin dan
syin, antara tha dan zha, antara jim, ha, dan kha. Dan seterusnya. Para sahabat belum menemukan kesulitan membacanya
karena rata-rata masih mengandalkan hafalan.
Kesulitan mulai muncul ketika dunia Islam semakin
meluas ke wilayah-wilayah non-Arab, seperti Persia disebelah Timur, Afrika di
sebelah Selatan, dan beberapa wilayah non-Arab lainnya di sebelah Barat.
Masalah ini mulai disadari oleh pimpinan dunia Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah
menjabat gubernur Bashrah, Irak, pada masa kekuasaan Mu’awwiyah ibn Abi Sufyan
(661-680 M), riwayat lainmenyebutkan pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali untuk segera membuat tanda baca,
terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang
tidak hafal al-Qur’an.
Ad-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan
kasus salah baca yang sangat fatal, yakni surat at-Taubah. Atas perintah
gubernur itu, as-Duwali memberi tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf, sebuah titik di bawah
huruf sebagai tanda baris bawah (kasrah),
tanda dhammah berupa wau kecil di antara dua huruf, dan tanpa
tanda apa-apa bagi konsonan mati.
Rasm al-Qur’an mengalami perkembangan yang sangat
pesat pada beberapa periode berikutnya. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan
memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf
al-Qur’an . Ia mendelegasikan tugas itu kepada Nashid ibn ‘Ashim dan Yahya ibn
Ma’mur, dua orang murid ad-Dawali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik di
sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antar satu dengan lainnya.
Misalnya, penambahan titik diatas huruf dal
yang kemudian menjadi dzal. Penambahan
yang bervariasi pada sejumlah huruuf dasar ba
yang kemudian menjadi huruf ba, nun
, ta dan huruf dasar ha yang kemudian berubah menjadi kha, ha, dan jim. Huruf ra dibedakan
dengan huruf za, huruf sin dibedakan dengan syin, huruf shad dibedakan
dengan dhad, huruf tha dibedakan dengan zha, huruf ‘ain dibedakan
dengan ghin, huruf fa dibedakan dengan qaf.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Rasm al-Qur’an adalah ketentuan atau pola yang
digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat lainnya dalam hal penulisan
al-Qur’an berkaitan dengan mushaf-mushaf yang di kirim ke berbagai daerah dan
kota, serta Mushaf al-Imam yang berada di tangan Utsman bin Affan sendiri.
2.
Para ulama merumuskan kaidah-kaidah Rasm Utsmani
menjadi enam istilah, yaitu:
a.
Al-Hadz berarti membuang, menghilangkan atau
meniadakan huruf.
b.
Al-ziyadah berarti penambahan.
c.
Al-Hamzah
d.
Badal berarti penggantian.
e.
Washal dan fashal (penyambungan dan pemisahan),
f.
Kata yang dapatdibaca dua bunyi
3.
Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani
Kedudukan rasm Utsmani
diperselisihkan para ulama. apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau
hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat taufiqi dengan alasan
bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya
Nabi SAW.
b.
Sebagian Ulama berpendapat,
bahwa pola penulisan al-Qur’an dalam rasm
Utsmani hanya merupakan hasil ijtihad
para sahabat Nabi, tidak bersifat taufiqi.
c.
Sebagian Ulama lainnya mengatakan,
bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi
orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm Usmani tetap
wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut.
4.
Hubungan Rasm Utsmani dengan Pemahaman Al-Qur’an
Pada masa permulaan Islam, mushaf al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda
baca dan baris. Mushaf Ustmani tidak
seperti yang dikenal sekarang yang dilengkapi oleh tanda-tanda baca. Pun, belum
ada tanda-tanda berupa titik sehingga sulit membedakan antara huruf ya dan ba. Kesulitan
mulai muncul ketika dunia Islam semakin meluas ke wilayah-wilayah non-Arab,
seperti Persia disebelah Timur, Afrika di sebelah Selatan, dan beberapa wilayah
non-Arab lainnya di sebelah Barat.
B.
Saran
Diharapkan dengan
adanya makalah ini dapat memberikan sedikit pengetahuan kepada teman-teman dan
penulis secara pribadi. Sehingga menjadi suatu amal kebaikan yang akan diterima
olej Allah SWT.
Daftar
Pustaka
Marzuki,
Kamaluddin. 1994. Ulum al-Qur’an. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.